This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 25 November 2011

HARTA GONOGINI DAN PENYELESAIANNYA

A. Pengertian Dalam ensiklopedia hukum islam, dijelaskan bahwa harta Gono gini adalah harta bersam milik suami istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Dalam masyarakat Indonesia ini, hampir semua daerah mempunyai pengertian, bahwa harta bersama antara suami isteri memang ada dengan istilah yang berbeda untuk masing-masing daerah. Di aceh misalnya disebut dengan Heureuta sihaurekat, diminangkabau di sebut harta suorang, di daerah disebut Guna kaya, iatau raja kaya (kabupaten Sumedang), dijakarta di sebut pencaharian, di ajwa disebut barang gana atau Gono gini, di bali di sebut drubo gabro, di Kalimantan disebut berpantangan, di Sulawesi disebut (bugis dan makasar) dikenal dengan barang cakar atau Madura disebut dengan nama ghuna-ghana. Dalam UU. Perkawinan No. 1 tahun 1974 bahwa yang dimksud dengan harta gono gini atau harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Pembedaan harta bersama dengan dari harta asal memiliki nilai penting dalam perkawinan dan kewarisan. Pembedaan harta bersama dari harta asal didalam perkawinan diperlukan untuk untuk menetapkan bagian masing-masing suami-istri atas harta tersebut, sementara di dalam pewarisan diperlukan untuk menetapkan harta-harta yang dapat dikategorikan sebagai harta peninggalan. Harta bersama dapat berupa benda bergerak, benda tidak dapat bergerak dan surat-surat berharga. Sedang yang tidak berwujud bisa berupa hak dan kewajiban. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya. Suami istri, tanpa persetujuan dari salah satu pihak, tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama tersebut. Dalam hal ini, baik suami maupun istri, mempunyai pertanggungjawaban menjaga harta bersama. Dalam pertanggung jawaban utang, baik terhadap utang suami maupun istri, bis dibebankan pada hartanya masing-masing. Sedang terhadap utang yang dilakukan untuk kepantinagnkeluarga, maka dibebankan pada harta bersama. Akan tetapi, bila harta bersama tidak mencukupi, utang etrsebut dibebankan pada harta suami. Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi maka dibebankan pada harta istri. B. Harta bersama menurut fiqh Sebagaimana diketahui, harta bersama atau gono-gini yaitu harta kekayaan yang dihasilkan bersama oleh pasangan suami isteri selama terikat tali perkawinan, atau harta yang dihasilkan dari perkongsian suami isteri. Dalam kitab-kitab fiqh, perkongsian itu disebut sebagai syirkah atau syarikah. Para ulama berbeda pendapat dalam membagi macam-macam syirkah. Adapun macam-macam syirkah dinataranya yaitu: 1. Syirkah Milk ialah perkongsian antar dua orang atau lebih terhadap sesuatu tanpa adanya sesuatu aqad atau perjanjian. 2. Syirkah Uquud yaitu beberapa orang mengadakan kontrak bersama untuk mendapat sejumlah uang. Syirkah ini bermacam-macam yaitu : a. Syirkah Mufawadlah bil Amwal (perkongsian antara dua orang atau lebih tentang sesuatu macam perniagaan). b. Syirkah ‘Inan bil Amwal ialah perkongsian antara dua orang atau lebih tentang suatu macam perniagaan, atau segala macam perniagaan . c. Syirkatul ‘Abdan Mufawadlah yaitu perkongsian yang bermodal tenaga. d. Syirkatul ‘Abdan ‘Inan ialah kalau perkongsian tenaga tadi disyaratkan perbedaan tenaga kerja dan perbedaan tentang upah. e. Syirkatul Wujuh ‘Inan yaitu perkongsian kepercayaan tanpa syarat. Syirkah ‘Inan disepakati oleh ulama tentang bolehnya, sedangkan syirkah mufawadlah hukumnya boleh menurut mazhab Hanafi, Maliki, Hambali. Tetapimenurut madzhab Syafi’i tidak boleh. Abu Hanifah mensyaratkan sama banyak modal antara masing-masing peserta perkongsian. Untuk Syirkah Abdan boleh menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, dan tidak boleh menurut madzhab Syafi’i. Bedanya Imam Malik mensyaratkan pekerjaan yang mereka kerjakan harus sejenis dan setempat. Syirkah wujuh boleh menurut Ulama Hanafiah dan Ulama Hanabilah dan menurut Imam Maliki dan Syafi’i tidak boleh. Dari macam-macam syirkah serta adanya perbedaan pendapat dari para Imam madzhab dan melihat praktek gono-gini dalam masyarakat Indonesia dapat disimpulkan bahwa harta gono gini termasuk dalam syirkah abdan / mufawadlah. Praktek gono-gini dikatakan syirkah abdan karena kenyataan bahwa sebagian besar dari suami isteri dalam masyarakat Indonesia samasama bekerja membanting tulang berusaha mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari-hari dan sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka, kalau keadaan memungkinkan juga untuk meninggalkan kepada anak-anak mereka sesudah mereka meninggal dunia. Suami isteri di Indonesia samasama bekerja mencari nafkah hidup. Selanjutnya dikatakan syirkah mufawadah karena memang perkongsian suami isteri itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan mereka termasuk harta bersama, kecuali yang mereka terima sebagai warisan atau pemberian khusus untuk salah seorang diantara mereka berdua. Hukum Qur’an tidak ada memerintahkan dan tidak pula melarang harta bersama itu dipisahkan atau dipersatukan. Jadi, dalam hal ini hokum Qur’an memberi kesempatan kepada masyarakat manusia itu sendiri untuk mengaturnya. Apakah peraturan itu akan berlaku untuk seluruh masyarakat atau hanya sebagai perjanjian saja antara dua orang bakal suami isteri sebelum diadakan perkawinan. Tentu saja isi dan maksud peraturan atau perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan Qur’an dan Hadits. Masalah harta bersama ini merupakan masalah Ijtihadiyah karena belum ada pada saat madzhab-madzhab terbentuk. Berbagai sikap dalam menghadapi tantangan ini telah dilontarkan. Satu pihak berpegang pada tradisi dan penafsiran ulama mujtahid terdahulu, sedang pihak lain perpegang pada penafsiran lama yang tidak cukup untuk menghadapi perubahan sosial yang ada. Sehingga masalah harta bersama ini perlu dibahas dalam KHI dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 agar umat Islam di Indonesia mempunyai pedoman fiqh yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi, sehingga terjadi keseragaman dalam memutuskan perkara. C. Harta bersama menurut undang-undang Di Indonesia, harta bersama dalam perkawinaatur dalam UU. No. I Tahun 1974, Bab VII pada pasal 35;1, 36;1 dan 37. pasai 35 (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama Pasal 36 (1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa menurut Undang-Undang Perkawinan, di dalam satu keluarga mungkin terdapat lebih dari satu kelompok harta. Hal ini berlainan sekali dengan sistem yang dianut B.W yaitu bahwa dalam satu keluarga pada asasnya hanya ada satu kelompok harta saja yaitu harta persatuan suami isteri. Menurtu pasal 35 UU No. 1 tahun 1974, harta bersama suami isteri, hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami isteri sepanjang perkawinan saja. Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan, sampai perkawinan tersebut putus, baik terputus karena kematian salah seorang diantara mereka (cerai mati), maupun karena perceraian (cerai hidup). Dengan demikian, harta yang telah dipunyai pada saat di bawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama. Ketentuan tersebut di atas tidak menyebutkan dari mana atau dari siapa harta tersebut berasal, sehingga boleh kita simpulkan, bahwa termasuk harta bersama adalah : 1) Hasil dan pendapatan suami. 2) Hasil dan pendapatan isteri. 3) Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun isteri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya diperoleh sepanjang perkawinan. Harta bersama menurut KUHPerdata disebut persatuan harta kekayaan. Persatuan harta kekayaan dalam pasal 119 KUHPerdata. pada pokoknya dikemukakan bahwa terhitung sejak saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum terjadilah persatuan bulat harta kekayaan suami dan isteri sejauh tidak diadakan perjanjian perkawinan tentang hal tersebut, jadi dari sini dapat diartikan bahwa yang dimaksud Harta Bersama adalah "Persatuan harta kekayaan seluruhnya secara bulat baik itu meliputi harta yang dibawa secara nyata (aktiva) maupun berupa piutang (pasiva), serta harta kekayaan yang akan diperoleh selama perkawinan" akibat terhadap persatuan harta kekayaan setelah adanya cerai adalah Bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen, tetapi tunduk kepada BW yang mengenal harta bersama (persatuan harta sejak terjadi perkawinan), harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri (pasal 128 KUHPerdata). Sedang dalam Kompilasi Hukum Islam, khususnya mengenai hukum perkawinan banyak terjadi duplikasi dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai harta kekayaan dalam perkawinan dibahas dalam Bab XIII. Menurut pasal 85 adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Tetapi dalam pasal 86 ditegaskan pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. Dalam Bab XIII tidak disebut mengenai terjadinya harta bersama, sebagaimana yang diatur dalam pasal 35 UU No. 1 tahun 1974. Mengenai harta bersama lebih lanjut diatur dalam pasal 85 sampai dengan pasal 97. D. Penghitungan harta bersama Pengadilan Agama dalam menetapkan putusan maupun fatwa tentang harta bersama mengutip langsung ketentuan hukum yang ada dalam Al-Qur’an karena tidak dikenal dalam referensi syafi’iyah. Lebih jauh lagi dalam menetapkan porsi harta bersama untuk suami isteri digunakan kebiasaan yang berlaku setempat, sehingga terdapat penetapan yang membagi dua harta bersama di samping terdapat pula penetapan yang membagi dengan perbandingan dua banding satu. Selain itu di Amuntai harta bersama dibagi sesuai dengan fungsi harta itu untuk suami atau untuk isteri. Menurut Kompilasi Hukum Islam Indonesia bahwa ketika terjadi perceraian karena meninggalnya suami atau istri maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. (KHI pasal 96), bila dirumuskan: HBS = 1/2 HB HBI = 1/2 HB Pendapat lain menurut H.R. Otje Salman dan mustofa Haffas dalam bukunya “Hukum Waris Islam” bahwa Hubungan harta bersama bagian suami dan bagian istri dengan harta bersama adalah bagi suami dua bagian hak istri. seperti ditunjukkan dalam rumus-rumus dibawah ini: HBS = 2/3 HB HBI = 1/3 HB Ket: HB : Harta bersama HBS : Harta bersama Suami HBI : Harta bersama Istri HAS : Harta asal Suami HAI : Harta asal Istri HPS : Harta peninggalan Suami HPI : Harta peninggalan Istri US : Utang Suami UI : Utang Istri UB : Utang Bersama Karena Allah memperingatkan bagi suami/ istri untuk tidak iri terhadap istri/ suaminya. Seorang istri tidak boleh terhadap suaminya karena mendapat hak hak lebih besar atas harta bersama. Laki-laki dilebihkan dari wanita karena laki-laki dibebani tanggung jawab sebagai pemimpin dan pemberi nafkah dengan resik harta asalnyapun dapat berkurang. Begitu pula, suami tidak boleh terhadap istrikarena sama sekali tidak memiliki hak atas penghasilan harta asal istrinya. Wanita dilebhkan darilaki-laki dengan perlindungan harta asal dan penghasilan darinya sebagai meilik pribadi. Contoh: Sepasang suami Istri membawa harta asal masing-masing sebesar Rp. 5.000.000,- ke dalam perkawinannya dan memiliki harta bersama sebesar Rp. 5.000.000,- pula. Jika si suami meninggalkan utang pribadi sebesar Rp. 2.500.000,- dan utang bersama sebasar Rp. 2.000.000,- maka harta peninggalannya adalah sebagai berikut: Sebagaimana pemaparan kami di atas ada 2 pendapat yang pertama KHI yakni keduanya mendapat separuh dari harta. pendapat yang ke dua suami atas harta bersama adalah dua bagian hak istri. 1. Yang berpendapat suami atas harta bersama adalah dua bagian hak istri. Karena UB lebih kecil dari HB maka HBS = 2/3 (HB-UB) = 2/3 (5.000.000-2.000.000) = 2.000.000 HPS = HAS-US + HBS = 5.000.000-2.500.000+2.000.000 = 4.500.000 Sementara jika si istri yang meninggal dunia dengan kondisi yang sama, makka harta peninggalannya: Karena UB lebih kecil dari HB maka: HBI = 1/3 (HB-UB) = 1/3 (5.000.000-2.000.000) = 1.000.000 HPI = HAI-UI + HBI = 5.000.000-2.500.000+2.000.000 = 4.500.000 2. Menurut KHI Karena UB lebih kecil dari HB maka HBS = 1/2 (HB-UB) = 1/2 (5.000.000-2.000.000) = 1.500.000 HPS = HAS-US + HBS = 5.000.000-2.500.000+1.500.000 = 4.000.000 Sementara jika si istri yang meninggal dunia dengan kondisi yang sama, makka harta peninggalannya: Karena UB lebih kecil dari HB maka: HBI = 1/2 (HB-UB) = 1/2 (5.000.000-2.000.000) = 1.500.000 HPI = HAI-UI + HBI = 5.000.000-2.500.000+1.500.000 = 4.000.000

Kamis, 24 November 2011

FATHUL HIDAYAH ITULAH PONDOKKU Suatu kebanggaan yang tak terkira bisa menuntut ilmu di pondok yang sederhana tapi bermakna. bermakna karena banyak hal yang dapat diambil... di bawah naungan seorang kyai penuh karismatik yaitu KH. MAsyhadi pondok ini berkembang lebih baik dan maju dari masa-masa ke masa. pondok bernama FATHUL HIDAYAH (terbukanya hidayah), berikut sejarah berdirinya: Pangean yang tahun 1994 masih wilayah kecamatan sekaran ( Sekarang masuk wilayah kecamatan maduran ) adalah desa kecil seluas 238,5 Ha. Dengan perincian : 113,5 Ha. Untuk tanah pertanian, 30,0 Ha untuk tanah tegalan, 90,0 Ha untuk tanah pemukiman dan 5,0 Ha untuk keperluan lainya. Desa ini merupakan dataran rendah yang berada pada 6 M di atas permukaan air laut dengan iklim yang dipengaruhi oleh curah 30 Mm. dengan masa hujan selama 6 bulan. Tentu kondisi alam yang seperti ini membuat desa pangean cukup panas hingga rata-rata 27” C. Pertanian merupakan mata pencaharian yang mayoritas dilakukan oleh penduduknya, meskipun banyak diantara penduduk desa yang bertekad untuk meninggalkan kampong halaman untuk mencari nafkah di luar daerah menjadi pedagang dan pegawai pemerintah. Untuk perekonimian pada tahun itu (1994) masyarakat pangean meski tidak dapat dibilang hidup mewah, akan tetapi kehidupan mereka cukup mapan dengan hasil pertanian yang dua kali panen padi, sekali panen kacang hijau, kacang tanah serta tanaman yang lain seperti ketela, semangka, bengkoang, sayuran, dan lail-lain. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan fisik yang selalu meningkat sebagai hasil kongrit yang dapat dilihat dan dirasakan langsung dari bentuk kesejahteraan, kesadaran akan pendidikan tumbuh dan berkembang untuk dijadikan trent serta menempatkan diri di level tertentu di mata masyarakat. Minato rang tua dan anak tamat Madrasah Ibtidaiyah milik desa dan Sekolah Dasar Ipres untuk melanjutkan pendidikanya ke SMP atau MTs. Sangat tinggi dan prosentasenya kecil untuk anak tidak mengenyam pendidikan sekolah formal, bahkan sekian generasi muda telah melanjutkan pendidikanya di Perguruan Tinggi di kota lain, bahkan pada tahun itu 18 generasi muda pangean sudah meraih gelar sarjana di berbagai jurusan. Semua itu mempengaruhi system komunikasi serta pola hidup masyarakat untuk lebih berkembang melalui berbagai organisasi seperti Karang Taruna, Remaja Masjid, NU dan IPPNU, Jam’iyah Istighotsah dan Ormas atau Parpol. Bentuk lain dari kesadaran tersebut pemerintah desa yang dipimpin oleh kades Drs hamim dan Lembaganaya beserta tokoh masyarakat di antaranya : H. Ishak, H. Amin, H. Mastu, dr. H. Bambang S, Bpk H. Tahmud, Drs. H. Malik Zuhri, Drs. H. Zaenuddin, Bpk Ahmadi , SH, Drs Yahya (Alm) dll mulai merancang konsep pendidikan yand ideal bukan hanya pendidikan formal saja tetapi untuk pendidikan agama dan kesadaran beragama. Dibentuklah Taman Pendidikan Al-Qur’an untuk menanamkan nnilai-nilai agama, bentuk akhlaq mulia dan membina kecakapan baca tulis al-qur’an yang di pusatkan di masjid “Baitur rohim” agar pendidikan agama bagi anak-anak dapat dikondisikan. Maka pada bulan Rojab 1416 H dipinaglag seorang guru ngaji dari desa tetangga “ sekaran “ yaitu Bapak Masyhadi ( Sekarang beliau sebagai pengasuh PP Fathul Hidayah ) yang notabenya masih mempunyai ikatan keluarga dengan beberapa tokoh di Desa Pangean. Berkar rahmat Allah SWt Yang Maha Kuasa minat, hasrat, dan pemikiran yang sangat tinggi tersebut, berkembang menjadi usaha nyata untuk mendirikan Pondok Pesantren, dan hal yang manjadi isyu positif dikalanagan masyarakat yang akhirnya berbuah dukungan dalam bentuk moril dan metereil. Meminjam konsep dan prinsip pengelola Pondok Modern Darussalam Gontor. Dengan sketsa bangunan yang telah dirancang para tokoh masyarakat berusaha menghimpun dana apapun bentuknya baik dari dalam maupun dari luar negeri (Saudi Arabia ) dan tentunya dari masyarakat pangean. Kegembiraan tak terungkap, Kebahagiaan tak terukur, dengan Akta Nomor, Bambang Eko Muljono, SH. Nomor : 06/ 1994/ pPN.LMG, pada tanggal 21 Pebruari 1994 “ Pondok Pesantren fathul Hidayah “ dinyatakan resmi berdiri di Desa pangean, dan berdasarkan kesepakatan pemerintah desa, tokoh masyarakat pangean serta pihak keluarga, memilih Bapak MASYHADI sebagai pengasuhnya dengan modal sepetak tanah wakaf + 648 M dari Bapak H Tahmud, pada 03 ramadhan 1414/ 14 Pebruari 1994 untuk memindahkan rumah kediaman pengasuh dari sekaran ke pangean dan musholah ala kadarnya yang sanagat sederhana sebagai pusat kegiatan diniyah. Adapun nama “Fathul Hidayah” adalah pemberian dari KH. Yusuf dari Gumantuk Maduran Lamongan, dengan harapan Pondok Pesantren tersebut tidak hanya menjadi kebanggaan di mata masyarakat, lebih dari itu semua , Pondok Pesantern yang telah disepakati adanya leh pemerintah desa, para tokoh masyarakat pangean manjadi pembuka hati untuk mendapatkan dan menikmati hidayah serta petunjuk ke jalan benar Allah SWT, bagi sipa saja yang ingin mendapatkanya. Dengan berbekal pengalaman yang didengar, dilihat, dikerjakan, dan dirasa dengan penuh penalaran dan daya fikir selama di pesantren yang tidak lepas dari bimbingan kyai, desertai dorongan dan harapan dari berbagai pihak khususnya orang tua, kyai dan para tokoh masyarakat sekitar, dalam usia yang muda ( 28 thn ) yang barabg kali masih diragukan oleh kalanagn tertentu, Bpk Masyhadi bertekad untuk merealisasikan niat mulia masyarakat desa pangean untuk menjadi pengasuh Pondok Pesantren Fathul Hiadayah.

Rabu, 23 November 2011

PROFIL MA FATHUL HIDAYAH

PROFIL MA FATHUL HIDAYAH JEJAK LANGKAH MADRASAH MEDP (Catatan 2007-2010) A. SEJARAH MADRASAH MA Fathul Hidayah didirikan oleh Yayasan Fathul Hidayah pada tanggal 01 Juli 1998 di Desa Pangean dan terdaftar di Departemen Agama Propinsi Jawa Timur berdasarkan SK Kakanwil Departemen Agama Propinsi Jawa Timur No : Wm.06.04 / PP. 03.2/ 3844/ SKP/ 1998 pada tanggal 10 Nopember 1998 dengan Nomor Statistik Madrasah (NSM) 312 352 419 814. Dalam perkembangan berikutnya MA Fathul Hidayah terakriditasi B ( Baik ) dengan No. SK : B / Kw.13.4 / MA / 046 / 2004 pada tanggal 25 Juni 2004. Dan pada tanggal 20 Agustus 2007, melalui sertifikat dari Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Lamongan No. 420/ 2921 / 413.107 / 2007 MA Fathul Hidayah Pangean mendapat Nomor Pokok Sekolah Nasional (NSPN) 20506951. Untuk melaksanakan tugas pendidikan dan pengajaran MA Fathul Hidayah dipimpin oleh Kepala Madrasah yang dipilih melalui Rapat Yayasan. Dan hingga saat ini kepemimpinan tersebut sudah mengalami tiga kali regenerasi, Yaitu : 1. dr.H.Bambang Susilo, tahun 1998 s/d 2002 2. Juri Wahananto, S.Ag, tahun 2003 s/d 2008 3. Nur Hidayat, S.Ag, tahun 2008 sampai sekarang B. VISI DAN MISI MADRASAH 1. VISI MA Fathul Hidayah Pangean LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAMI, BERKUALITAS DAN BERWAWASAN GLOBAL Indikator Islami : a. Bertaqwa kepada Allah SWT b. Berakhlakul Karimah c. Menjalankan Syariat Islam ala Ahlissunnah Wal Jamaah Indikator berkualitas : a. Diterima dalam SPMB/PMDK b. Berprestasi dalam olimpiade SAINS c. Berkualitas dalam KIR d. Berkualitas dalam berkomunikasi bahasa Arab dan Bahasa Inggris e. Berkualitas dalam seni & olahraga Indikator berwawasan global : a. Menguasai teknologi informatika b. Menerapkan komunikasi bahasa Arab dan Bahasa Inggris c. Teknologi tepat guna 2. MISI MA Fathul Hidayah Pangean a. Melaksanakan pembelajaran dan pendidikan Agama Islam secara efektif, sehingga setiap siswa mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan sempurna serta berakhlak yang mulia. b. Mengembangkan pembelajaran Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi, dalam rangka peningkatan sumberdaya manusia yang berkualitas dan dapat menumbuhkan semangat bersaing yang tinggi. c. Menerapkan Manajemen partisipatif, terbuka dan berbasis Madrasah dengan melibatkan seluruh warga Madrasah dan Masyarakat. d. Menerapkan pembelajaran secara efektif dan efisien melalui strategi multi metode dan multi media. e. Pembinaan dan Pemberdayaan Organisasi/ OSIS/ OSPPFH sebagai wahana Kaderisasi dan Regenerasi. f. Memperkuat Jaringan/ Net working dengan berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. C. PERKEMBANGAN SISWA DAN GURU 1. Siswa No Kelas Jumlah Siswa 2007 2008 2009 2010 L P L P L P L P 1 X 15 25 28 40 21 40 31 55 2 XI IPA 9 15 15 20 13 18 5 16 3 XI IPS 10 14 - - 8 23 11 13 4 XII IPA 9 15 9 15 13 17 8 21 5 XII IPS 10 14 10 14 - - 10 20 JUMLAH 53 83 62 89 55 98 65 126 2. Guru No Nama Guru Jenis Kelamin Pendidikan Sertifikasi Tunjangan Profesi L P 1. KH. Mashadi, S.Pd.I. √ - S-1 - - 2. Nur Hidayat, S.Ag. √ - S-1 √ - 3. Juri Wahananto, S.Ag. √ - S-1 √ - 4. Z. Arifin, S.Pd.I. √ - S-1 √ - 5. Abd. Chamid, SE. √ - S-1 - - 6. Sujono, S.Pd. √ - S-1 √ - 7. Sudanang, S.Pd. √ - S-1 √ - 8. Siti Ainiah, S.Pd. - √ S-1 √ - 9. Abdul Rofik, S.Ag. S.Pd. √ - S-1 √ - 10. Miftakhul Arief, S.Pd. √ - S-1 √ - 11. Drs. H. Achso Bandi √ - S-1 √ - 12. Abdurrohman F √ - S-1 - - 13. Asy’ari √ - S-1 - - 14. Makshum √ - S-1 - - 15. Kamim, S.Pd. √ - S-1 √ - 16. Khoiri, M.Pd.I. √ - S-2 √ - 17. Rasmi’an, S.Pd. √ - S-1 √ - 18. Moh. Yusuf, S.Ag √ - S-1 √ - 19. Abd. Malik, S.Pd.I. √ - S-1 - - 20. Hj. Aimmatul Munawaroh - √ SMA/MA - - 21. Heny Nur Alam, S.Pd.I. √ - S-1 - - 22. Poni Kurnia Dewi, S.Si - √ S-1 √ - 23. Wasito, ST √ - S-1 - - 24. Moh. Zainul Abidin, S.Pd.I. √ - S-1 √ - 25. Basuki Rohmad, SE. √ - S-1 - - 26. Mukhdaroji, S.Pd. √ - S-1 - - 27. Nur Lailatus Saidah, S.Pd.I. - √ S-1 - - 28. Izzul Islami, S.Pd.I. - √ S-1 - - 29. Siti Nur Azizah - √ S-1 - - 30. Sudja’i, S.Pd. √ - S-1 √ - 31. Suharsono, S.Pd.I. √ - S-1 √ - 32. Suyitno, S.Pd. √ - S-1 √ - 33. Khumaidi Abdillah, S.Pd. √ - S-1 - - 34. Fitrotun Nihlah - √ SMA/MA - - 35. Ali Zuhud √ - SMA/MA - - 3. Prestasi Murid No Prestasi Lomba Tingkat Tahun Penyelenggara 1. Lomba MTQ Pada HUT ke 62 I (Satu) 2007 Kecamatan 2. Lomba MTQ Putra HUT ke 62 III (Tiga) 2007 Kecamatan 3. Volly Putra HUT ke 62 III (Tiga) 2007 Kecamatan 4. Pidato bahasa Arab Putra POSPEDA I (Satu) 2007 Kabupaten 5. Pidato Bhs. Indonesia POSPEDA I (Satu) 2007 Kabupaten 6. Puisi Putra POSPEDA II (Dua) 2007 Kabupaten 7. Cipta Puisi Putra POSPEDA II (Dua) 2007 Kabupaten 8. Cipta Puisi Putri POSPEDA II (Dua) 2007 Kabupaten 9. Gerak Jalan Putra pada HUT ke 61 III (Tiga) 2008 Kecamatan 10. Senam Kesegaran Jasmani Putri pada HUT ke 63 III (Tiga) 2008 Kecamatan 11. Mushabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) Putri pada HUT ke 63 I (Satu) 2008 Kecamatan 12. Senam Kesegaran Jasmani Putra pada HUT ke 63 II (Dua) 2008 Kecamatan 13. Mushabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) Putra pada HUT ke 63 III (Tiga) 2008 Kecamatan 14. Lari Sprint Putra pada HUT ke 63 II ( Dua ) 2008 Kecamatan 15. Lari Sprint Putri pada HUT ke 63 II ( Dua ) 2008 Kecamatan 16. Lari marathon Putri pada HUT ke 63 I ( satu ) 2008 Kecamatan 17. Lari marathon Putra pada HUT ke 63 III (Tiga) 2008 Kecamatan 18. Kuis Fisika ( Unair Surabaya ) 5 ( Lima ) 2009 Jawa Timur 19. Pidato Bahasa Arab ( Pospeda 4 Kab. Lamongan 2009 ) 1 ( Satu ) 2009 Kabupaten 20. Pidato Bahasa Inggris ( Pospeda 4 Kab. Lamongan 2009 ) 1 ( satu ) 2009 Kabupaten 21. Puitisasi Kandungan Al Qur’an Pospeda 4 Kab. Lamongan 2009 1 ( Satu ) 2009 Kabupaten 22. Puitisasi Al Qur’an ( Pospeda 4 Kab. Lamongan 2009 ) 1 ( Satu ) 2009 Kabupaten 23. Sholawat Al Banjari II ( Dua ) 2009 Kabupaten 24. MQK ( Musabaqoh Qiraoatil Kutub ) se-Jawa Timur di IAIN Surabaya. II ( Dua ) 2009 Jawa Timur 25. Pidato Bahasa Inggris di ITS Surabaya 3 ( Tiga ) 2009 Jawa Timur

Sabtu, 19 November 2011

Pengolahan Data

Proses analisis data merupakan pekerjaan untuk menemukan tema-tema dan merumuskan hipotesa-hipotesa, meskipun sebenarnya tidak ada formula untuk digunakan untuk merumuskan hipotesa. Hanya saja pada analisis data tema dan hipotesa lebih diperkaya dan diperdalam dengan cara menggabungkannya dengan sumber-sumber data yang ada. Berikut ini saran-saran dari Bogdan dan tailor (1975: 82-84): Bacalah dengan teliti catatan lapangan anda. Seluruh data, baik yang berasal dari pengamatan yang terlibat, wawancara, komentar peneliti sendiri, gambar, foto,dokumen hendaknya dibaca secara mendalam. Berikan kode peda beberapa judul pembicaraan tertentu. Sesudah diberi kode, data itu hendaknya dipelajari, dibaca dan ditelaah lagi, kemudian disortir dan diuji untuk dimasukkan ke dalam kelompok tertentu yang akan menjadi cikal bakal tema. Susunlah menurut tipologi akan bermanfaat dalam menemukan tema dan pembentukan hipotesa. Buatlah catatn tentang bagaimana subyek penelitian meneglompokkan orang-orang dan prilaku mereka, apa dan bagaimana perbedaannya. Bacalah kepustakaan dan ada kaitannya dengan masalah den setting penelitian Dalam referensi lain, setelah dikumpulkan data dari lapangan dengan lengkap maka tahap berikutnya adalah mengolah dan menganalisis data. Adapun langkah-langkahnya adalah: Editing Apabila para pencari data (pewawancara atau pengobserervasi) telah memperoleh data, maka berkas-berkas catatan informasi akan dikelolah. Yang pertama adalah meneliti kembali catatan para bencari data itu untuk mengetahui apakah catatan-catatan itu sudah cukup baik dan dapat segera disiapkan untuk keperluan proses berikutnya. Aktifitas ini dikenal dengan proses editing. Coding yaitu proses untuk mengklasifikasi jawaban-jawaban para responden menurut kreteria atau macam yang ditetapkan. Agar data yang diperoleh mudah dianalisis serta disimpulkan untuk menjawab masalah yang dikemukakan di alam penelitian, maka jawaban-jawaban yang beraneka ragam dari para responden harus diringkas terlebih dulu dengan menggolong-golongkan ke dalam kategori-kategori tertentu yang telah ditetapkan. Sejumlah kategori disiarkan untuk koding dengan keharusan memperhatikan 3 petunjuk ini: Bahwa setiap perangkat kategori harus dibuat dengan mendasarkan diri kepada asas kreteria tunggal. Bahw setiap perangkat kategori harus dibuat lengkap, sehingga tidak ada satupun jawaban responden yang tidak mendapatkan tempatnya kedalam kategori-kategori yang disediakan. Bahwa kategori tersebut satu sama lain harus terpisah tegas dan tidak boleh saling Ovelap, sehingga dengan demikian setiap jawaban responden yang masuk tidak akan mungkin dapat merumuskan ke dalam lebih dari satu kategori. Menghitung frekuensi Setelah koding, maka diketahui bahwa setiap kategori telah menampung dan memuat data-data dan jumlah (frekuensi) tertentu. Pada tahap akhir koding peneliti akan memperoleh distribusi data dalam frekuensi-frekuensi tertentu pada masing-masing kategori. Tabulasi Yaitu proses penyusunan data ke dalam bentuk tabel. Tabel sebagai kerangka analisis data Apabila penelitian bersifat deskriptif dan hipotesisnya hanya dengan variabel tunggal (One Variable Hypothesis), maka kerangka tabelnyaa hanya terisi satu perangkat kategori saja (yang disusun secara vertikal). Kerangka tersebut akan membaawa sampai ke analisis deskriptif, sedangkan tabelnya sendiri lebih berfungsi sebagai pemapar gambaran deskriptif mengenai sesuatu variabel tertentu saja. Apabila penelitiannya bersifat menerangkan dengan hipotesis yang memperpadukan adanya hubungan antara dua fariabel (Two Variable Hipothesis), maka jalan yang ditempuh dengan memanipulasi analisis statistik yang dikerjakan dan tidak berhenti sampai pada penyajian-penyajain deskriptif saja, akan tetapi menjurus usaha menemukan ada tidaknya hubungan antara dua variabel, oleh karena itu tabulasi ini digunakan tabulasi silang. Mengatur derajat besarnya hubungan antar Variabel Sesudah menjadi kesepakatan bahwa derajat besarnya hubungan antara dua variabel itu (di sini disebut koefisien) selalu diukur dengan hasil yang dinyatakan dalam lambang bilangan antara: 0,00 dan 1,00 (atau -1,00). Apabila diperoleh hasil 0,00 berarti berhubungan antara dua variabel tersebut tidak ada. Dan apakah angka yang doperoleh adalah 1,00 atau -1,00 berarti hubungan itu sempurna. Contoh: Kejahatan terhadap badan dan nyawa orang Kejahatan terhadap harta kekayaan orang Suku bali 67 20 Suku sasak 120 445 Dengan rumus yule`s Q yang menyatakan Q=(ad-bc)/(ad+bc) Q : koefisien asosiasi a : frekuensi yang ada di petak kiri b : frekuensi yang ada di petak kanan c : frekuensi yang ada di petak kiri-bawah d : frekuensi yang ada di petak kanan-bawah Q=((67x445)-(20x120))/((67x445)+(20x120)) Q=(29815-2400)/(29815+2400) Q=27415/32215 Q=0,85 Angka 0,85 adalah lebih dekat dengan 1,00, maka jelaslah bahwa derajat hubungan antara dua variabel tersebut sangat besar.

Macam-macam Analisis Data

1. Analisis Kualitatif Data kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat sketsa dan gambar . Terhadap data yang sudah terkumpul dapat dilakukan analisis kualitatif apabila: a. Data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat dilakukan pengukuran. b. Data tersebut sukar diukur dengan angka. c. Hubungan antar variable tidak jelas. d. Sampel lebih bersifat non probabilitas. e. Pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan pengamatan. f. Penggunaan-penggunaan teori kurang diperlukan. 2. Analisis kuantitatif Analisis data dimaksudkan untuk memahami apa yang terdapat di balik semua data tersebut, mengelompokannya, meringkasnya menjadi suatu yang kompak dan mudah dimengerti, serta menemukan pola umum yang timbul dari data tersebut. Dalam analisis data kuantitatif, apa yang dimaksud dengan mudah dimengerti dan pola umum itu terwakili dalam bentuk simbol-simbol statistik, yang dikenal dengan istilah notasi, variasi, dan koefisien. Seperti rata-rata ( u = miu), jumlah (E = sigma), taraf signifikansi (a = alpha), koefisien korelasi (p = rho), dan sebagainya. Analisis kuantitatif harus dilakukan, apabila data yang diperoleh menunjukkan hal-hal seperti: a. Data yang terkumpul dapat diukur, hal ini menunjukkan bahwa analisis kuantatif memang selalu mengandalkan pengukuran-pengukuran. b. Data yang ada terdiri aneka gejala yang dapat diukur dengan angka. c. Hubungan antar variable sangat jelas. d. Sampel yang diambil dilakukan dengan cermat dan teliti. e. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner tertutup. f. Peneliti harus menguasai teori-teori yang relevan. Penggunaan analisis kualitatif sangat tepat apabila dipergunakan dalam penelitian yang bersifat eksploratoris, sedang analisis kuantitatif lebih bamyak dipergunakan dalam penelitian-penelitian yang bersifat eksplanatoris. Analisis kualitatif juga dipergunakan dalam penelitian hukum normatif, namun untuk penelitian hukum empiris/sosiologis analisis kualitatif dapat dipergunakan bersama-sama dengan analisis kuantitatif.

Selasa, 28 Juni 2011

GADAI SYARIAH

A. Pengertian Gadai Syari’ah
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats- tsubut wa ad-dawam, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat (38) yaitu : “Setiap orang bertanggung jawab atas apa yarg telah diperbuatnya.”
Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa kata ar rahn berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan; sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Namun, pengertian gadai yang terungkap dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Karena itu, makna gadai (rahn) dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan rungguhan. Sedangkan pengertian gadai (rahn) dalam hukum Islam (syara') adalah menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.
Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan di atas, Zainuddin Ali lebih lanjut mengungkapkan pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli hukum Islam sebagai berikut:
1. Ulama syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut :
Menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayar utangnya.
2. Ulama Hanabilah mengungkapkan sebagai berikut :
Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berharga tidak sanggup membayar utangnya.
3. Ulama Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut :
Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
4. Ahmad Azhar Basyir
Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara' sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
5. Muhammad Syafi'i Antonio
Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhum) atas utang/lpinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam di atas, dapat diketahui bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untu mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan. Karena itu, tampak bahwa gadai syariah merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas/perhiasan/kendaraan dan/atau harta benda lainnya sebagai jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau lembaga pegadaian syariah berdasarkan hukum gadai syariah; sedangkan pihak lembaga pegadaian syariah menyerahkan uang sebagai tanda terima dengan jumlah maksimal 90% dari nilai taksir terhadap barang yang diserahkan oleh penggadai Gadai dimaksud, ditandai denga mengisi dan menandatangani Surat Bukti Gadai (Ruhn).
Jika memperhatikan pengertian gadai (rahn) di atas, maka tampak bahwa fungsi dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam uang a¬¬dalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan/atau jaminan keamanan uang yang dipinjamkan. Karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial, sehingga dalam buku fiqh mu'amalah akad ini merupakan akad tabarru’ atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan.

B. Dasar Hukum Gadai Syari’ah
Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syari’ah adalah ayat-ayat Al Qur’an, Hadits Nabi Muhammad SAW., Ijma’ ulama, dan fatwa MUI.
1. Al Qur’an
        •                            
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Syaikh Muhammad ‘Ali Sayis berpendapat bahwa ayat Al Qur’an di atas adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang.
Fungsi barang gadai (marhun) pada ayat di atas adalah untuk menjaga kepercayaan masing-masing pihak, sehingga penerima gadai (murtahin) meyakini bahwa pemberi gadai (rahin) beriktikad baik untuk mengembalikan pinjamannya (marhun bih) dengan cara menggadaikan barang atau benda yang dimilikinya (marhun), serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utangnya itu. Sekalipun ayat tersebut, secara literal mengindikasikan bahwa rahn dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan musafir. Hal ini, bukan berarti dilarang bila dilakukan oleh orang yang menetap dan/atau bermukim.
Sebab, keadaan musafir ataupun menetap bukanlah merupakan suatu persyaratan keabsahan transaksi rahn. Apalagi, terdapat sebuah hadis yang mengisahkan bahwa Rasulullah saw. menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, untuk mendapatkan makanan bagi keluarganya, pada saat beliau tidak melakukan perjalanan.
2. Hadits Nabi Muhammad
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikannya dengan besi” (HR. Muslim).
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِه
“Dari Anas: Rasulullah telah merengguhkan baju besi beliau kepada seorang yahudi di Madinah sewaktu beliau berutang gandum dari seorang yahudi untuk keluarga beliau” ( HR. Ahmad, Bukhari, Nasa’i, Ibnu Majah).
Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yang berbunyi:
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Muqatil, mengabarkan kepada kami Abdullah bin Mubark, mengabarkan kepada kami Zakariyya dari Sya’bi dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, bahwasannya beliau bersabda: Kendaraan dapat digunakan dan hewan ternak dapat pula diambil manfaatnya apabila digadaikan. Penggandai wajib memberikan nafkah dan penerima gadai boleh mendapatkan manfatnya. (HR. Al-Bukhari)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., yang berbunyi:
Barang gadai tidak boleh disembunyikan dari pemilik yang menggadaikan, baginya risiko dan hasilnya. (HR. Asy-Syafi'i dan Ad-Daruquthni).
3. Ijma
Jumhur Ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad kepada mereka.
4. Fatwa MUI
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenan gadai syariah, di antaranya dikemukakan sebagai berikut:
a. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 25/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn;
b. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas;
c. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 09/DSN-MUI/IV/2000, tentang Pembiayaan Ijaroh;
d. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 10/DSN-MUI/IV/200, tentang Wakalah;
e. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 43/DSN-MUI/VIII/2004, tentang Ganti Rugi.
1. Rukun dan Syarat Gadai Syariah
Dilihat dari rukun dan syarat syah gadai ada;ah sebagai berikut:
a. Rukun gadai antara lain:
1) Lafadz yakni pernyataan adanya perjanjian (Sighat)
2) Adanya pemberi gadai ( Rahim ) dan penerima gadai (Murtahim)
3) Adanya barang yang di gadaikan/jaminan (Marhun)
4) Adanya utang (marhun bih)
b. Sedangkan syarat sahnya antara lain.
1) Rohn dan Murtahin harus berakal dan baligh artinya cakap untuk melakukan perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syariat islam. Setipa orang yang sah melakukan jual beli sah melakukan gadai, yakni berakal dan mumaiyis, tetapi tidak disyaratkan untuk harus baligh.
2) Sighat tidak boleh terkait denagn masa yang akan datang dan syarat-syarat tertentu.
Ulama Syafi’yah berpendapat bahwa syarat dalam rahn ada tiga
a) Syarat sahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat membayar sehingga jaminan tidak disita.
b) Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermamfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminan yang diberi makanan tertentu, syarat seperti itu batal, tetapi akadnya sah.
c) Syarat yang merusak akad,seperti mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan murtahin.
3) Marhun bih/ Hutang harus merupakan hak yang wajib diberikan atau diserahkan kepada pemiliknya, memungkinkan pemanfaatannya bila sesuatu yang menjadi itu tidak bisa dimanfaatkan maka tiak sah, harus dikuantifikasikan atau dapt dihitung jumlahnya bila tidak dapat diukur atau tidak dikuantifikasi, rahn itu tidak sah.
c. Status dan Jenis Barang Gadai
1) Status Barang Gadai
Ulama fiqh menyatakan bahwa rahn baru dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan itu secara hukum sudah berada di tangan penerima gadai, dan uang yang dibutuhkan telah diterima oleh pemberi gadai.
2) Jenis Barang Gadai
Jenis barang gadai adalah barang yang dijadikan agunan oleh rahin sebagai pengikat utang, dan dipegang oleh murtahin sebagai jaminan utang. Harta yang dapat digadaikan adalah barang-barang yang memenuhi kategori:
a) Barang yang dapat dijual
b) Barang gadai harus berupa harta menurut pandangan syara’
c) Barang gadai harus diketahui
d) Barang tersebut merupakan milik rahin
2. Hak dan Kewajiban Pihak yang Berakad
a. Penerima Gadai (Murtahin)
1) Hak Penerima Gadai
a) Apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo, murtahin berhak untuk menjual marhun.
b) Untuk menjaga keselamatan marhun, pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang dikeluarkan.
c) Pemegang gadai berhak menahan barang gadai dari rahin, selama pinjaman belum dilunasin
2) Kewajiban Penerima Gadai
a) Apabila terjadi sesuatu (hilang ataupun cacat) terhadap marhun akibat dari kelalaian, maka marhun harus bertanggung jawab.
b) Tidak boleh menggunakan marhun untuk kepentingan pribadi.
c) Sebelum diadakan pelelengan marhun, harus ada pemberitahuan kepada rahin
b. Pemberi Gadai (Rahin)
1) Hak Pemberi Gadai
a) Setelah pelunasan pinjaman, rahin berhak atas barang gadai yang diserahkan kepada murtahin
b) Apabila terjadi kerusakan atau hilangnya barang gadai akibat kelalaian murtahin, rahin menuntut ganti rugi atas marhun.
c) Setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya, rahin berhak menerima sisa hasil penjualan marhun.
d) Apabila diketahui terdapat penyalahgunaan marhun oleh murtahin, maka rahin berhak untuk meminta marhunnya kembali
2) Kewajiban Pemberi Gadai
1) Melunasi pinjaman yang telah diterima serta biaya-biaya yang ada dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
2) apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi pinjamannya, maka harus merelakan penjualan atas marhun pemiliknya
3) Barang gadai (Marhun) harus bisa diperjual belikan, harus berupa harta yang bernilai, bisa dimanfaatkan secara syariah, harus diketahui keadaan fisiknya dan milik sendiri atau dapat izin dari pemiliknya.
Menurut fatwa DSN-MUI No. 25 / DSN-MUI/III/2002 gadai syariah harus memenuhi ketentuan umum sebagai berikut:
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua hutang rahn (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahn, pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahn, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahn, namun dapat dilakukanjuaga oleh murtahin¸sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahn.
4. Besar biaya pemeliharaan dan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun:
a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan Rahn untuk segera melunasi hutangnya.
b. Apabila Rahn tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun dijual paksa/ dieksekusi melalui lelang sesuat syariah.
c. Hasil penjaualan Marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahn dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahn.
Penjualan marhun harus dilakukan di depan umum dan sebelum penjualan dilakukan biasanya hal itu harus diberitahukan lebih dahulu kepada rahn.
3. Pemanfaatan Barang Gadai
Para ulama memiliki perbedaan pendapat berkenaan pemanfaatan barang gadai.
1. Ulama Syafi’iyyah
Menurut ulama’ Syafiiyyah bahwa yang mempunyai hak atas manfaat harta benda gadai adalah pemberi gadai walaupun marhun itu berada di bawah kekuasaan penerima gadai.
2. Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa penerima harta benda gadai hanya dapat memanfaatkan harta benda gadaian atas izin dari pemberi gadai dengan persyaratan sebagai berikut:
a. Utang disebabkan dari jual beli, bukan karena mengutangkan.
b. Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari harta benda gadaian diperuntukkan pada dirinya.
c. Jika waktu pengambilan manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan apabila tidak ditentukan batas waktunya maka menjadi batal
3. Ulama Hanabilah
Menurut pendapat ulama Hanabilah, persyaratan bagi murtahin untuk mengambil manfaat harta benda gadai yang berupa hewan adalah:
a. Ada izin dari pemilik barang
b. Adanya gadai bukan karena mengutangkan
4. Ulama Hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah, sesuai dengan fungsi dari barang gadai adalah sebagai jaminan dan kepercayaan bagi penerima gadai. Apabila barang itu dimanfaatkan oleh penerima gadai, maka berarti menghilangkan manfaat dari barang tersebut, padahal barang itu memerlukan pemeliharaan.

Minggu, 26 Juni 2011

Arbitrase

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Sedangkan arbitrase menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat (1 ” arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”
Dasar-dasar Arbitrase
 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa
 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
 Keputusan Presiden No.34 Tahun 1981 Tentang Pengakuan Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan Putusan Arbitrase Asing
 Undang Undang No.5 Tahun 1968 Tentang Ratifikasi World Bank Covention
 Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1990 Tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri
 Perjanjian / klausula arbitrase dari para pihak
Objek Arbitrase
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Di dalam Pasal 4 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang menyelesaikan sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase dan putusan arbitrase adalah final (final and binding), artinya tidak dapat dilakukan banding, peninjauan kembali atau kasasi, serta putusannya berkekuatan hukum tetap bagi para pihak.
Beberapa Alasan mengapa penyelesaian sengketa dengan arbitrase:
 Penyelesaian sengketa melalui arbitarse tidak memerlukan formalitas yang kaku dan ketat,hukum acaranya dapat ditentukan sendiri oleh pihak yang bersengketa;
 Arbiter dapat dipilih sendiri oleh para pihak sesuai dengan keahliannya;
 Lebih cepat dan hemat biaya;
 Menjamin kerahasiaan bagi para pihak;
 Putusannya mencerminkan nilai-nilai keadilan bagi para pihak;
 Putusan bersifat final dan banding;
 Putusan arbitase dapat dieksekusi secara paksa melalui pengadilan
 Putusan arbitase dapat dieksekusi di negara lain yang menjadi anggota konvensi New York 1958;
 Putusan arbitrase bersifat non preseden.
Jenis Arbitrase
1. Arbitrase Ad Hoc (Arbitrase Volunteer)
Arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu.
2. Arbitrase Institusional
Merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen, contohnya di Indonesia yaitu BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) sedangkan lembaga arbitrase internasional misalnya The International Center of Settlement of investment Disputes (ICSID).

Mediasi

Ada banyak pengertian yang menjelaskan mediasi di antaranya:
• Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimanasuatu pihak luar, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yangbesengketa, membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatukesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. (Goodpaster, 1999 : 241)
• “Mediasi” adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang disengketakan. (PBI No. 8/5/PBI/2006, angka 5)
Jadi mediasi adalah merupakan forum penyelesaian sengketa melalui proses negosiasi atau perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang netral dan dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Mediator secara prosedural mempunyai peran untuk membantu para pihak dengan cara membuat saran-saran prosedural mengenai cara-cara penyelesaian sengketa secara damai.
Seorang mediator harus mempunyai wawasan dan kesetiaan pada prinsip-prinsip keadilan yang luas,kesamaan dan kesukarelaan untuk ditanamkan dalam pertukaran negosiasi di antara para pihak.
Kerangka Waktu dalam Mediasai adalah 30 hari sejak mediasi dimulai harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak (Pasal 6 ayat (7) UU No.30/1999). Putusan/kesepakatan hasil mediasi wajib didaftarkan dipengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak penandatangan (Pasal 6 ayat (8) UU No.30 /1999). Kewajiban pendaftaran ini merupakan wajib yang sifatnya fakultatif oleh karena pelanggaran atas kewajiban tidak memiliki implikasi hukum apa-apa terhadap hasil kesepakatan.
Adapun Sifat Putusan hasil mediasi adalah bersifat final dan mengikat dengan itikad baik bagi para pihak.
Unsur-unsur mediasi
1. penyelesaian sengketa dilakukan sendiri oleh para pihak;
2. dengan bantuan seorang atau lebih mediator yang netral;
3. berdasarkan perjanjian tertulis;
4. putusan diambil oleh para pihak sendiri secara konsensus;
5. putusan yang dihasilkan bersifat mengikat dengan itikad baik;
6. putusan dituangkan dalam bentuk tertulis(Perjanjian damai)
Tujuan Mediasi
1. Menghasilkan suatu rencana (kesepakatan) kedepan yang dapat diterima dan dijalankan oleh para pihak yang bersengketa;
2. mempersiapkan para pihak yang bersengketa untuk menerima konsekuensi dari hasil mediasi yang mereka sepakati;
3. mengurangi ketegangan dan konflik antara para pihak yang bersengketa dengan cara membantu mengatasi kendala psikologis dan teknis untuk menyelesaikan sengketa secara konsensus.
Tahapan-tahan dalam Mediasi
1. Tahap Pendahuluan
2. Tahap Presentasi dari para pihak
3. Tahap identifikasi masalah
4. Tahap mengidentifikasi dan mengurutkan permasalahan
5. Tahap negosiasi dan pembuatan keputusan

Sabtu, 11 Juni 2011

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
"Hukum Tata Negara Islam"





Oleh :
Muhammad Abdul Ghofur C51208033
Nurkhairani C51208041
Siti Nurhasanah .S. C51208047

Dosen Pembimbing :
Nur Lailatul Musyafa’ah, Lc, MHI.


JURUSAN AKHWALUS SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak. Kemuliaan akhlak ini haruslah tecermin dalam berbagai segi kehidupan untuk mewujudkan bahwa manusia adalah makhluk yang beradab dan memiliki aturan yang berbeda dengan makhluk lain. Oleh sebab itu, dalam Islam diatur pula hubungan antara sesama manusia khususnya atau dalam lingkup paling besar hubungan antar Negara.
Sebagaimana diketahui bahwa syarat terbentuknya suatu Negara diantaranya adalah ada suatu wilayah, penduduk/masyarakat, dan ada pemerintahan yang berdaulat. Berbedanya wilayah dan penduduk yang mendiami, membuat perbedaan pula karakter suatu Negara, sehingga adanya suatu pembagian-pembagian mengenai Negara.
Tidak hanya itu, kemajemukan penduduk suatu Negara membuat adanya suatu pembedaan dengan dilihat dari berbagai faktor. Dalam Islam perbedaan penduduk ini bisa dilihat dari agama yang dianutnya maupun wilayah tempat ia berdomisili. Akibat dari suatu pembedaan ini, berbeda pula hak maupun kewajiban yang akan diterima.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Siyasah Dauliyah?
2. Apa saja ruang lingkup Siyasah Dauliyah?
3. Bagaimana pembagian Negara dalam Islam?
4. Bagaimana pembagian penduduk dalam Islam?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian Siyasah Dauliyah.
2. Memahami ruang lingkup Siyasah Dauliyah.
3. Mengetahui pembagian Negara dalam Islam.
4. Mengetahui pembagian penduduk dalam Islam.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembagian Fiqih Siyasah Dauliyah dan Ruang Lingkupnya
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial, nasionalitas, ektradisi, tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishash. Atau dapat dikatakan yang mengatur hubungan antar Negara tersebut (Politik Hukum Internasional).
Dasar-dasar Siyasah Dauliyah, diantaranya sebagai berikut:
1. Kesatuan Umat Manusia
Meskipun manusia ini berbeda suku berbangsa-bangsa, berbeda warna kulit, berbeda tanah air bahkan berbeda agama, akan tetapi merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama makhluk Allah, sama bertempat tinggal di muka bumi ini, sama-sama mengharapkan hidup bahagia dan damai dan sama-sama dari Adam. Dengan demikian, maka perbedaan-perbedaan diantara manusia harus disikapi dengan pikiran yang positif untuk saling memberikan kelebihan masing-masing dan saling menutupi kekurangan masing-masing.
2. Al-‘Adalah (Keadilan)
Ajaran islam mewajibkan penegakan keadilan baik terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga, bahkan terhadap musuh sekalipun kita wajib bertindak adil. Banyak ayat-ayat yang berbicara tentang keadilan antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
Artinya:Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu
3. Al-Musawah (Persamaan)
Manusia memiliki hal-hal kemanusiaan yang sama, untuk mewujudkan keadilan adalah mutlak mempersamakan manusia dihadapan hukum. Demikian pula setiap manusia adalah subyek hukum, penanggung hak dan kewajiban yang sama.
4. Karomah Insaniyah (Kehormatan Manusia)
Karena kehormatan manusia inilah, maka manusia tidak boleh merendahkan manusia lainnya. Kehormatan manusia berkembang menjadi kehormatan terhadap satu kaum atau komunitas dan bisa dikembangkan menjadi suatu kehormatan suatu bangsa atau negara.
5. Tasamuh (Toleransi)
Allah mewajibkan menolak permusuhan dengan tindakan yang lebih baik, penolakan dengan lebih baik ini akan menimbulkan persahabatan bila dilakukan pada tempatnya setidaknya akan menetralisir ketegangan.
6. Kerja Sama Kemanusiaan
Kerjasama kemanusiaan ini adalah realisasi dari dasar-dasar yang telah dikemukakan di atas, kerja sama di sini adalah kerja sama di setiap wilayah dan lingkungan kemanusiaan. Kerja sama ini diperlukan karena ada saling ketergantungan baik antara individu maupun antara negara di dunia ini.


7. Kebebasan, Kemerdekaan/Al-Huriyah
Kemerdekaan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri dari pengaruh hawa nafsu serta mengendalikan dibawah bimbingan keimanan dan akal sehat. Dengan demikian, kebebasan bukanlah kebebasan mutlak, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab terhadap Allah, terhadap keselamatan hidup manusia di muka bumi, kebebasan bisa diperinci seperti kebebasan berfikir, kebebasan baragama, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan menuntut ilmu, kebebasan memiliki harta.
8. Perilaku Moral yang Baik (Al-Akhlakul Karimah)
Prilaku yang baik merupakan dasar moral di dalam hubungan antara manusia, antara umat dan antara bangsa di dunia ini selain itu prinsip ini juga diterapkan terhadap seluruh makhluk Allah di muka bumi termasuk flora dan fauna.

1. Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Damai
Damai adalah asas hubungan Internasional. Selain kewajiban suatu negara terhadap negara lain, yakni tentang menghormati hak-hak negara lain yang bertetangga dengan negara yang ditempati dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional.
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa hukum asal hubungan Internasional ada dua pendapat, pendapat yang pertama mengacu pada ayat-ayat perang (al-Baqarah:216, an-Nisa`:74, al-Anfal:65, at-Taubah:29), dan sabda Nabi: saya diperintahkan untuk memeragi manusia sampai merreka mengucapkan syahadat, melaksanakan sholat, dan mengeluarkan zakat. Kesimpulan dari kelompok pertama adalah inti hukum asal dalam hubungan internasional adalah perang.
Pendapat yang ke dua adalah sebaliknya bahwa hukum asal dalam hubungan internasional adalah adalah damai. Alasannya perang itu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak kedzaliman, menghindari fitnah dalam rangka mempertahankan diri sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran. Adapun hadits nabi di atas menurut kelompok ini, berlaku bagi orang atau kelompok yang merasuki atau memerangi islam untuk menolak kdzaliman mereka. Selain itu, pemaksaan di dalam memeluk agama pun tidak diperkanankan.

2. Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Perang
Sebab terjadinya perang:
a. Mempertahankan Diri
Dari kitab-kitab sejarah tarikh, cara Nabi Mohammad saw menhimpun kekuatan dan mempertahankan negeri madinah dari serangan-serangan musuhnya orang kafir kuraisy. Dalam perang badar, bukan Nabi yang menyerang akan tetapi mush nabi yang menyerang ka Madinah. Adapan waktu fathu Makkah, rasulullah datang ke Makkah bukan sebagai perang atau penakluk, meainkan sebagai pemberi amnesti umum disertai tetap menghormati harga diri tokoh-tokoh mekkah, seperti Abu Sofyan yang pada waktu itu masih kafir.
b. Dalam Rangka Dakwah
Perang juga bisa terjadi di dalam rangka menjamin jalannya dakwah. Artinya, dakwah kepada kebenaran dan keadilan serta pada prinsip-prinsip yang mulia tidak boleh dihalangi dan ditindas oleh penguasa manapun. Telah dijelaskan bahwa Islam tidak menghendaki pemaksaan beragama. Apabila penguasa memaksakan agamanya dan menindas kepada orang-orang muslim, penguasa-penguasa itu dikualifikasikan kepada penguasa yang dzalim. Prilaku seperti itulah yang dipertontonkan oleh penguasa Persia dan Romawi pada waktu itu yaitu tidak memberikan kebebasan kapada rakyatnya untuk memeluk agama yang diyakininya.
c. Etika dan Aturan Perang di dalam Siyasah Dauliyah
1) Dilarang membunuh anak.
2) Dilarang membunuh wanita yang tidak berperang.
3) Dilarang membunuh orang tua yang tidak ikut perang.
4) Tidak memotong dan merusak tanaman, sawah dan ladang.
5) Tidak membunuh binatang ternak
6) Tidak menghancurkan tempat ibadah.
7) Dilarang mencincang mayat musuh.
8) Dilarang membunuh pendeta dan pekerja.
9) Bersikap sabar, berani dan ikhlas.
10) Tidak melampaui batas.

B. Pembagian Negara Islam
Jumhur ulama membagi negara kepada dua bagian, yaitu dar al-Islam/ dar al-waqf (Syiah Zaidiyah)/ dar al-tauhid (Khawarij sekte Ibadiyah ) dan dar al-harb/ dar al-fasiq (Syiah Zaidiyah)/ dar al-syirk (Khawarij sekte Ibadiyah). Sementara ulama Syafi’iyah menambahkan kategori dar al-‘ahd atau dar al-aman disamping keduanya. Dar al-‘ahd adalah negara-negara yang berdamai dengan dar al-Islam, dengan peranjian tersebut, maka semua penduduk dar al-‘ahd tidak boleh diganggu jiwanya, hartanya, dan kehormatan kemanusiaannnya. Meskipun penduduknya tidak beragaa Islam, mereka diperlakukan seperti orang Islam dalam arti dilindungi hak-haknya.
Sedangkan menurut A. Djazuli, pembagian dunia pada masa sekarang adalah:
1. Al-Alam al-Islami (dunia Islam) yang terdiri dari:
a. Dawlah Islamiyah (negara Islam/Islamic States).
b. Baldah Islamiyah (negeri muslim/negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam/Muslim Countries).
2. Al-Alam al-‘Ahd: negara-negara yang berdamai dengan negara Islam.

1. Kriteria Dar al-Islam
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan identitas suatu negara apakah termasuk dar al-Islam. Diantara mereka ada yang melihat dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut. Ada pula yang memandang dari sisi keamanan warganya menjalankan syari’at Islam. Semantara ada juga yang melihat dari sisi pemegang kekuasaan tersebut.
a. Dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut
Imam Abu Yusuf, tokoh terbesar madzhab Hanafi berpendapat bahwa suatu negara disebut dar al-Islam bila berlaku hukum Islam di dalamnya, meskipun mayoritas warganya tidak muslim. Sementara dar al-harb, menurutnya adalah negara yang tidak meberlakukan hukum Islam, meskipun sebagian besar penduduknya beragama Islam.
Dalam pemikiran modern, pandangan demikian dianut oleh Sayyid Quthb. Ia memandang bahwa negara yang menerapkan hukum islam adalah dar al-Islam, tanpa mensyaratkan penduduknya harus muslim. Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang mensyaratkan penduduknya harus mayoritas muslim.
b. Dari sisi keamanan warganya menjalankan syariat Islam
Imam Abu Hanifah membedakan dar al-Islam dan dar al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati penduduknya. Bila umat Islam merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaan mereka, maka negara tersebut termasuk dar al-Islam. Sebaliknya, bila tidak ada rasa aman, maka negara tersebut termasuk dar al-harb.
c. Dari sisi pemegang kekuasaan negara tersebut
Menurut al-Rafi’i (salah seorang tokoh madzhab Syafi’i), suatu negara dipandang sebagai dar al-Islam apabila dipimpin oleh seorang muslim.
Menurut Javid Iqbal, dar al-Islam adalah negara yang pemerintahannya dipegang umat Islam, mayoritas penduduknya beragama Islam dan menggunakan hukum Islam sebagai undang-undangnya. Karena kekuasaan mutlak berada pada Allah, maka dar al-Islam harus menjunjung tinggi supremasi hukum Islam; selanjutnya, karena masyarakat muslim harus diperintah menurut hukum Islam, maka pemimpin pemerintahannya juga harus muslim agar mereka dapat melaksanakan hukum Islam.
Dalam perkembangan dunia modern, kriteria ini telah bergeser. Suatu negara disebut dar al-Islam bila penduduknya mayoritas beragama Islam, meskipun negara tersebut tidak sepenuhnya menjalankan hukum Islam contohnya Indonesia dan Mesir. Di samping itu, kriteria penerapan hukum Islam dalam suatu negara tentu merupakan hal terpenting dalam menentukan suatu negara disebut dar al-Islam, meskipun tidak sepenuhnya penduduknya beragama Islam, contohnya Iran, Malaysia, dan Pakistan. Kedua kriteria inilah yang digunakan oleh Organisasi Konperensi Islam (OKI) dalam menetapkan hukum Islam.
2. Pembagian Dar al-Islam
Berdasarkan tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk menetap di wilayah Dar al-Islam, maka dar al-Islam terbagi dalam 3 bagian, yaitu: tanah suci, Hijaz, dan selain keduanya.
a. Tanah suci (Kota Mekah dan wilayah sekitarnya).
Menurut jumhur ulama kota Madinah termasuk dalam wilayah ini. Di kedua wilayah ini non-muslim tidak boleh menetap. Bahkan untuk kota Mekah, di sekitar al-Masjid al-Haram, non-muslim sama sekali tidak boleh memasukinya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, kafir dzimmi dan kafir mu’ahid boleh memasuki Makkah tidak untuk menetap di dalamnya.
b. Wilayah Hijaz
Wilayah ini boleh dimasuki non-muslim dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintahan Islam. Tetapi mereka tidak boleh menetap di wilayah ini melebihi 3 hari. Ketentuan ini berdasarkan keputusan Khalifah ‘Umar bin Khaththab yang mengijinkan orang-orang Yahudi tinggal di Hijaz selama 3 hari untuk urusan dagang. Dalam al-Ahkam al-Shulthaniyah dijelaskan bahwa jika mereka bertempat tinggal di salah satu tempat di Hijaz lebih dari 3 hari, maka mereka dikenakan ta’zir jika mereka tidak diberi izin sebelumnya.
c. Wilayah dan negara-negara Islam lainnya
Di wilayah ini, pemerintah Islam boleh melakukan akad dzimmah dengan non-muslim. Mereka boleh masuk dan menetap di wilayah ini untuk sementara waktu berdasarkan perjanjian yang disetujui kedua belah pihak.

3. Pembagian Dar al-Harb
Muhammad Iqbal dalam bukunya menjelaskan bahwa dar al-harb dibedakan menjadi 3 kategori:
a. Negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok dar al-Islam, yaitu pemberlakuan hukum Islam dan kekuasaan politik yang berada di tangan non-muslim.
b. Negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar al-Islam, meskipun tidak utuh. Wilayahnya dikuasai non-muslim dan hukum yang berlaku bukan hukum Islam, namun umat Islam yang menetap dinegara tersebut diberi kelonggaran untuk melaksanakan sebagian hukum Islam.
c. Negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb. Wilayah ini dikuasai oleh pemerintahan non-muslim dan tidak memberlakukan hukum Islam. Penduduk Muslim yang menetap di sini tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan ajaran agamanya. Dar al-harb dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu Dar al-harb yang menjadi tempat harbiyyun dan tidak terikat perjanjian atau hubungan diplomatik dengan negara Islam; dan Dar al-Muwada’ah atau dar al-Muhadanah

C. Pembagian Penduduk
Dengan berlandaskan pada agama yang diyakini seseorang, mempertimbangkan Negara yang menjadi tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan Islam, para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang menjadi muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari ahl al-zimmi, musta’min, dan harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl al-zimmi dan musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan harbiyun.
1. Muslim
Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
Pertama mereka yang menetap di dar al-Islam dan mempunyai komitmen yang kuat untuk mempertahankan dar al-Islam. Termasuk kedalam kelompok ini adalah orang Islam yang menetap sementara waktu di dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap komitmen kepada Islam serta mengakui pemerintahan Islam.
Kedua, muslim yang tinggal menetap di dar al-harb dan tidak berkeinginan untuk hijrah ke dar al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, SYafi’i dan Ahmad, sama dengan muslim lainnya di dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai Islam. Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin.
2. Ahl al-Zimmi
Kata dzimmah berarti perjanjian, atau jaminan dan keamanan. Disebut demikian karena mereka mempunyai jaminan perjanjian (‘ahd) Allah dan Rasul-Nya, serta jamaah kaum Muslim untuk hidup dengan rasa aman di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Mereka (orang-orang kafir ini) berada dalam jaminan keamanan kaum Muslim berdasarkan akad dzimmah.
Implikasinya adalah, mereka termasuk ke dalam warga negara Darul Islam. Akad dzimmah mengandung ketentuan untuk membiarkan orang-orang non muslim tetap berada dalam keyakinan/agama mereka, disamping menikmati hak untuk memperoleh jaminan keamanan dan perhatian kaum Muslim. Syaratnya adalah mereka membayar jizyah serta tetap berpegang teguh terhadap hukum-hukum Islam di dalam persoalan-persoalan publik. Landasan adanya penarikan jizyah dari ahl al-zimmi yaitu dalam Surat At Taubah ayat 29.
Unsur-unsur seseorang dikatakan ahl al-zimmi yaitu: Non-muslim, baligh, berakal, laki-laki, bukan budak, tinggal di dar al-Islam dan mampu membayar jizyah.
Yang dikatakan non-muslim adalah ahl al-Kitab, murtad, dan orang musyrik.
a. Sebagaimana pendapat Abu Bakar ibnu Ali al-Jashshash yang dikutip oleh Dr. Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, ahl al-Kitab yang tergolong ahl al-zimmi yaitu Yahudi dan Nasrani, serta Majusi.
b. Mayoritas ulama sepakat mengenai ketidakbolehan orang-orang murtad melakukan akad zimmah dengan pemerintahan Islam, berdasarkan firman Allah QS. Al-Fath, 48:16, yang artinya: Kamu perangi mereka, atau mereka sendiri menyerah masuk Islam.
c. Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menerima orang musyrik sebagai ahl al-zimmi. Mazhab Syafi’i, Hambali, Zahiri, dan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa pemerintahan Islam tidak boleh menerima orang musyrik yang bukan ahl al-Kitab sebagai ahl al-zimmi dan memungut jizyah mereka. Mereka berlandaskan pada QS. Al-Taubah, 9:5: Perangilah orang-orang musyrik dimana pun kamu bertemu dengan mereka. Sedangkan Imam Malik, al-Auza’i dan Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa jizyah boleh diambil dari orang non-muslim mana pun, tanpa memandang mereka sebagai ahl al-Kitab atau bukan.
3. Musta’min
Menurut Ahli Fiqih, musta’min adalah orang yang memasuki wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah setempat, baik ia muslim maupun harbiyun. Menurut al-Dasuki yang dikutip oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, antara musta’min dan mu’ahid mempunyai pengertian sama. Mu’ahid adalah orang non muslim yang memasuki wilayah Dar al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke wilayah Dar al-Harb.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai masa berlakunya perjanjian jaminan keamanan bagi musta’min. Menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh melebihi empat bulan. Menurut Mazhab Maliki yaitu jika perjanjian tersebut tidak dibatasi oleh waktu, maka dalam waktu empat bulan berakhir dengan sendirinya. Sedangkan jika dibatasi oleh waktu, maka perjanjian berakhir sesuai kesepakatan. Menurut Mazhab Hanafi dan Syi’ah Zaidiyah, maksimal selama satu tahun. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal menentukan paling lama, yaitu empat tahun.
4. Harbiyun
Kafir Harbi adalah setiap orang kafir yang tidak tercakup di dalam perjanjian (dzimmah) kaum Muslim, baik orang itu kafir mu’ahid atau musta’min, atau pun bukan kafir mu’ahid dan kafir musta’min.
Ditinjau dari aspek hukum, kafir harbi dibagi menjadi dua, yaitu (1) kafir harbi hukman, artinya secara de jure (secara hukum) kafir harbi, dan (2) kafir harbi fi’lan atau kafir harbi haqiqatan (de facto) yakni orang-orang kafir yang tengah berperang/memerangi kaum Muslim.
















BAB III
KESIMPULAN
1. Siyasah Dauliyah bermakna: kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial, nasionalitas, ektradisi, tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishash. Dasar-dasar Siyasah Dauliyah, diantaranya adalah: kesatuan umat manusia, al-‘adalah, musawah, karomah insaniyah, tasamuh, kerja sama kemanusiaan, hurriyah, dan akhlakul karimah.
Hubungan Internasional dibagi menjadi dua yaitu hubungan Internasional dalam waktu damai dan hubungan internasional dalam waktu perang.
2. Jumhur ulama’ membagi negara menjadi dua, yaitu dar al-Islam dan dar al-harb.
Berdasarkan tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk menetap di wilayah Dar al-Islam, maka dar al-Islam terbagi dalam 3 bagian, yaitu: tanah suci, wilayah Hijaz, dan selain keduanya. Sedangkan dar al-harb dibedakan menjadi 3, yaitu: negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok dar al-Islam, negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar al-Islam, dan negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb.
3. Berdasarkan agama yang diyakini seseorang, Negara yang menjadi tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan Islam, maka para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang menjadi muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari ahl al-zimmi, musta’min, dan harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl al-zimmi dan musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan harbiyun.




DAFTAR PUSTAKA

H.A. Djazuli. 2009. Fiqh Siyasah implementasi kemaslahatan umat dalam rambu-rambu syariah. Jakarta: Kencana.
http://rasyidbungadakwah.blogspot.com/2010/03/pulau-gebe-kab-halmahera-tengah.html, diakses pada tanggal 31 Mei 2011
http://zahratunisa.blogspot.com/2010/05/fiqh-siyasah.html, diakses pada tanggal 28 Juni 2011
Imam al-Mawardi. 2006. Al-Ahkam al-Shulthaniyyah, Penerjemah: Fadli Bahri. Jakarta: Darul Falah.
J. Suyuthi Pulungan. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah Dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad Iqbal. 2007. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

FIQIH DAULIYAH DAN RUANG LINGKUPNYA, PEMBAGIAN NEGARA DAN PEMBAGIAN PENDUDUK

FIQIH DAULIYAH DAN RUANG LINGKUPNYA, PEMBAGIAN NEGARA DAN PEMBAGIAN PENDUDUK

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
"Hukum Tata Negara Islam"





Oleh :
Muhammad Abdul Ghofur C51208033
Nurkhairani C51208041
Siti Nurhasanah .S. C51208047

Dosen Pembimbing :
Nur Lailatul Musyafa’ah, Lc, MHI.


JURUSAN AKHWALUS SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak. Kemuliaan akhlak ini haruslah tecermin dalam berbagai segi kehidupan untuk mewujudkan bahwa manusia adalah makhluk yang beradab dan memiliki aturan yang berbeda dengan makhluk lain. Oleh sebab itu, dalam Islam diatur pula hubungan antara sesama manusia khususnya atau dalam lingkup paling besar hubungan antar Negara.
Sebagaimana diketahui bahwa syarat terbentuknya suatu Negara diantaranya adalah ada suatu wilayah, penduduk/masyarakat, dan ada pemerintahan yang berdaulat. Berbedanya wilayah dan penduduk yang mendiami, membuat perbedaan pula karakter suatu Negara, sehingga adanya suatu pembagian-pembagian mengenai Negara.
Tidak hanya itu, kemajemukan penduduk suatu Negara membuat adanya suatu pembedaan dengan dilihat dari berbagai faktor. Dalam Islam perbedaan penduduk ini bisa dilihat dari agama yang dianutnya maupun wilayah tempat ia berdomisili. Akibat dari suatu pembedaan ini, berbeda pula hak maupun kewajiban yang akan diterima.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Siyasah Dauliyah?
2. Apa saja ruang lingkup Siyasah Dauliyah?
3. Bagaimana pembagian Negara dalam Islam?
4. Bagaimana pembagian penduduk dalam Islam?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian Siyasah Dauliyah.
2. Memahami ruang lingkup Siyasah Dauliyah.
3. Mengetahui pembagian Negara dalam Islam.
4. Mengetahui pembagian penduduk dalam Islam.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembagian Fiqih Siyasah Dauliyah dan Ruang Lingkupnya
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial, nasionalitas, ektradisi, tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishash. Atau dapat dikatakan yang mengatur hubungan antar Negara tersebut (Politik Hukum Internasional).
Dasar-dasar Siyasah Dauliyah, diantaranya sebagai berikut:
1. Kesatuan Umat Manusia
Meskipun manusia ini berbeda suku berbangsa-bangsa, berbeda warna kulit, berbeda tanah air bahkan berbeda agama, akan tetapi merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama makhluk Allah, sama bertempat tinggal di muka bumi ini, sama-sama mengharapkan hidup bahagia dan damai dan sama-sama dari Adam. Dengan demikian, maka perbedaan-perbedaan diantara manusia harus disikapi dengan pikiran yang positif untuk saling memberikan kelebihan masing-masing dan saling menutupi kekurangan masing-masing.
2. Al-‘Adalah (Keadilan)
Ajaran islam mewajibkan penegakan keadilan baik terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga, bahkan terhadap musuh sekalipun kita wajib bertindak adil. Banyak ayat-ayat yang berbicara tentang keadilan antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
Artinya:Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu
3. Al-Musawah (Persamaan)
Manusia memiliki hal-hal kemanusiaan yang sama, untuk mewujudkan keadilan adalah mutlak mempersamakan manusia dihadapan hukum. Demikian pula setiap manusia adalah subyek hukum, penanggung hak dan kewajiban yang sama.
4. Karomah Insaniyah (Kehormatan Manusia)
Karena kehormatan manusia inilah, maka manusia tidak boleh merendahkan manusia lainnya. Kehormatan manusia berkembang menjadi kehormatan terhadap satu kaum atau komunitas dan bisa dikembangkan menjadi suatu kehormatan suatu bangsa atau negara.
5. Tasamuh (Toleransi)
Allah mewajibkan menolak permusuhan dengan tindakan yang lebih baik, penolakan dengan lebih baik ini akan menimbulkan persahabatan bila dilakukan pada tempatnya setidaknya akan menetralisir ketegangan.
6. Kerja Sama Kemanusiaan
Kerjasama kemanusiaan ini adalah realisasi dari dasar-dasar yang telah dikemukakan di atas, kerja sama di sini adalah kerja sama di setiap wilayah dan lingkungan kemanusiaan. Kerja sama ini diperlukan karena ada saling ketergantungan baik antara individu maupun antara negara di dunia ini.


7. Kebebasan, Kemerdekaan/Al-Huriyah
Kemerdekaan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri dari pengaruh hawa nafsu serta mengendalikan dibawah bimbingan keimanan dan akal sehat. Dengan demikian, kebebasan bukanlah kebebasan mutlak, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab terhadap Allah, terhadap keselamatan hidup manusia di muka bumi, kebebasan bisa diperinci seperti kebebasan berfikir, kebebasan baragama, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan menuntut ilmu, kebebasan memiliki harta.
8. Perilaku Moral yang Baik (Al-Akhlakul Karimah)
Prilaku yang baik merupakan dasar moral di dalam hubungan antara manusia, antara umat dan antara bangsa di dunia ini selain itu prinsip ini juga diterapkan terhadap seluruh makhluk Allah di muka bumi termasuk flora dan fauna.

1. Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Damai
Damai adalah asas hubungan Internasional. Selain kewajiban suatu negara terhadap negara lain, yakni tentang menghormati hak-hak negara lain yang bertetangga dengan negara yang ditempati dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional.
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa hukum asal hubungan Internasional ada dua pendapat, pendapat yang pertama mengacu pada ayat-ayat perang (al-Baqarah:216, an-Nisa`:74, al-Anfal:65, at-Taubah:29), dan sabda Nabi: saya diperintahkan untuk memeragi manusia sampai merreka mengucapkan syahadat, melaksanakan sholat, dan mengeluarkan zakat. Kesimpulan dari kelompok pertama adalah inti hukum asal dalam hubungan internasional adalah perang.
Pendapat yang ke dua adalah sebaliknya bahwa hukum asal dalam hubungan internasional adalah adalah damai. Alasannya perang itu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak kedzaliman, menghindari fitnah dalam rangka mempertahankan diri sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran. Adapun hadits nabi di atas menurut kelompok ini, berlaku bagi orang atau kelompok yang merasuki atau memerangi islam untuk menolak kdzaliman mereka. Selain itu, pemaksaan di dalam memeluk agama pun tidak diperkanankan.

2. Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Perang
Sebab terjadinya perang:
a. Mempertahankan Diri
Dari kitab-kitab sejarah tarikh, cara Nabi Mohammad saw menhimpun kekuatan dan mempertahankan negeri madinah dari serangan-serangan musuhnya orang kafir kuraisy. Dalam perang badar, bukan Nabi yang menyerang akan tetapi mush nabi yang menyerang ka Madinah. Adapan waktu fathu Makkah, rasulullah datang ke Makkah bukan sebagai perang atau penakluk, meainkan sebagai pemberi amnesti umum disertai tetap menghormati harga diri tokoh-tokoh mekkah, seperti Abu Sofyan yang pada waktu itu masih kafir.
b. Dalam Rangka Dakwah
Perang juga bisa terjadi di dalam rangka menjamin jalannya dakwah. Artinya, dakwah kepada kebenaran dan keadilan serta pada prinsip-prinsip yang mulia tidak boleh dihalangi dan ditindas oleh penguasa manapun. Telah dijelaskan bahwa Islam tidak menghendaki pemaksaan beragama. Apabila penguasa memaksakan agamanya dan menindas kepada orang-orang muslim, penguasa-penguasa itu dikualifikasikan kepada penguasa yang dzalim. Prilaku seperti itulah yang dipertontonkan oleh penguasa Persia dan Romawi pada waktu itu yaitu tidak memberikan kebebasan kapada rakyatnya untuk memeluk agama yang diyakininya.
c. Etika dan Aturan Perang di dalam Siyasah Dauliyah
1) Dilarang membunuh anak.
2) Dilarang membunuh wanita yang tidak berperang.
3) Dilarang membunuh orang tua yang tidak ikut perang.
4) Tidak memotong dan merusak tanaman, sawah dan ladang.
5) Tidak membunuh binatang ternak
6) Tidak menghancurkan tempat ibadah.
7) Dilarang mencincang mayat musuh.
8) Dilarang membunuh pendeta dan pekerja.
9) Bersikap sabar, berani dan ikhlas.
10) Tidak melampaui batas.

B. Pembagian Negara Islam
Jumhur ulama membagi negara kepada dua bagian, yaitu dar al-Islam/ dar al-waqf (Syiah Zaidiyah)/ dar al-tauhid (Khawarij sekte Ibadiyah ) dan dar al-harb/ dar al-fasiq (Syiah Zaidiyah)/ dar al-syirk (Khawarij sekte Ibadiyah). Sementara ulama Syafi’iyah menambahkan kategori dar al-‘ahd atau dar al-aman disamping keduanya. Dar al-‘ahd adalah negara-negara yang berdamai dengan dar al-Islam, dengan peranjian tersebut, maka semua penduduk dar al-‘ahd tidak boleh diganggu jiwanya, hartanya, dan kehormatan kemanusiaannnya. Meskipun penduduknya tidak beragaa Islam, mereka diperlakukan seperti orang Islam dalam arti dilindungi hak-haknya.
Sedangkan menurut A. Djazuli, pembagian dunia pada masa sekarang adalah:
1. Al-Alam al-Islami (dunia Islam) yang terdiri dari:
a. Dawlah Islamiyah (negara Islam/Islamic States).
b. Baldah Islamiyah (negeri muslim/negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam/Muslim Countries).
2. Al-Alam al-‘Ahd: negara-negara yang berdamai dengan negara Islam.

1. Kriteria Dar al-Islam
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan identitas suatu negara apakah termasuk dar al-Islam. Diantara mereka ada yang melihat dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut. Ada pula yang memandang dari sisi keamanan warganya menjalankan syari’at Islam. Semantara ada juga yang melihat dari sisi pemegang kekuasaan tersebut.
a. Dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut
Imam Abu Yusuf, tokoh terbesar madzhab Hanafi berpendapat bahwa suatu negara disebut dar al-Islam bila berlaku hukum Islam di dalamnya, meskipun mayoritas warganya tidak muslim. Sementara dar al-harb, menurutnya adalah negara yang tidak meberlakukan hukum Islam, meskipun sebagian besar penduduknya beragama Islam.
Dalam pemikiran modern, pandangan demikian dianut oleh Sayyid Quthb. Ia memandang bahwa negara yang menerapkan hukum islam adalah dar al-Islam, tanpa mensyaratkan penduduknya harus muslim. Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang mensyaratkan penduduknya harus mayoritas muslim.
b. Dari sisi keamanan warganya menjalankan syariat Islam
Imam Abu Hanifah membedakan dar al-Islam dan dar al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati penduduknya. Bila umat Islam merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaan mereka, maka negara tersebut termasuk dar al-Islam. Sebaliknya, bila tidak ada rasa aman, maka negara tersebut termasuk dar al-harb.
c. Dari sisi pemegang kekuasaan negara tersebut
Menurut al-Rafi’i (salah seorang tokoh madzhab Syafi’i), suatu negara dipandang sebagai dar al-Islam apabila dipimpin oleh seorang muslim.
Menurut Javid Iqbal, dar al-Islam adalah negara yang pemerintahannya dipegang umat Islam, mayoritas penduduknya beragama Islam dan menggunakan hukum Islam sebagai undang-undangnya. Karena kekuasaan mutlak berada pada Allah, maka dar al-Islam harus menjunjung tinggi supremasi hukum Islam; selanjutnya, karena masyarakat muslim harus diperintah menurut hukum Islam, maka pemimpin pemerintahannya juga harus muslim agar mereka dapat melaksanakan hukum Islam.
Dalam perkembangan dunia modern, kriteria ini telah bergeser. Suatu negara disebut dar al-Islam bila penduduknya mayoritas beragama Islam, meskipun negara tersebut tidak sepenuhnya menjalankan hukum Islam contohnya Indonesia dan Mesir. Di samping itu, kriteria penerapan hukum Islam dalam suatu negara tentu merupakan hal terpenting dalam menentukan suatu negara disebut dar al-Islam, meskipun tidak sepenuhnya penduduknya beragama Islam, contohnya Iran, Malaysia, dan Pakistan. Kedua kriteria inilah yang digunakan oleh Organisasi Konperensi Islam (OKI) dalam menetapkan hukum Islam.
2. Pembagian Dar al-Islam
Berdasarkan tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk menetap di wilayah Dar al-Islam, maka dar al-Islam terbagi dalam 3 bagian, yaitu: tanah suci, Hijaz, dan selain keduanya.
a. Tanah suci (Kota Mekah dan wilayah sekitarnya).
Menurut jumhur ulama kota Madinah termasuk dalam wilayah ini. Di kedua wilayah ini non-muslim tidak boleh menetap. Bahkan untuk kota Mekah, di sekitar al-Masjid al-Haram, non-muslim sama sekali tidak boleh memasukinya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, kafir dzimmi dan kafir mu’ahid boleh memasuki Makkah tidak untuk menetap di dalamnya.
b. Wilayah Hijaz
Wilayah ini boleh dimasuki non-muslim dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintahan Islam. Tetapi mereka tidak boleh menetap di wilayah ini melebihi 3 hari. Ketentuan ini berdasarkan keputusan Khalifah ‘Umar bin Khaththab yang mengijinkan orang-orang Yahudi tinggal di Hijaz selama 3 hari untuk urusan dagang. Dalam al-Ahkam al-Shulthaniyah dijelaskan bahwa jika mereka bertempat tinggal di salah satu tempat di Hijaz lebih dari 3 hari, maka mereka dikenakan ta’zir jika mereka tidak diberi izin sebelumnya.
c. Wilayah dan negara-negara Islam lainnya
Di wilayah ini, pemerintah Islam boleh melakukan akad dzimmah dengan non-muslim. Mereka boleh masuk dan menetap di wilayah ini untuk sementara waktu berdasarkan perjanjian yang disetujui kedua belah pihak.

3. Pembagian Dar al-Harb
Muhammad Iqbal dalam bukunya menjelaskan bahwa dar al-harb dibedakan menjadi 3 kategori:
a. Negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok dar al-Islam, yaitu pemberlakuan hukum Islam dan kekuasaan politik yang berada di tangan non-muslim.
b. Negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar al-Islam, meskipun tidak utuh. Wilayahnya dikuasai non-muslim dan hukum yang berlaku bukan hukum Islam, namun umat Islam yang menetap dinegara tersebut diberi kelonggaran untuk melaksanakan sebagian hukum Islam.
c. Negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb. Wilayah ini dikuasai oleh pemerintahan non-muslim dan tidak memberlakukan hukum Islam. Penduduk Muslim yang menetap di sini tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan ajaran agamanya. Dar al-harb dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu Dar al-harb yang menjadi tempat harbiyyun dan tidak terikat perjanjian atau hubungan diplomatik dengan negara Islam; dan Dar al-Muwada’ah atau dar al-Muhadanah

C. Pembagian Penduduk
Dengan berlandaskan pada agama yang diyakini seseorang, mempertimbangkan Negara yang menjadi tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan Islam, para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang menjadi muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari ahl al-zimmi, musta’min, dan harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl al-zimmi dan musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan harbiyun.
1. Muslim
Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
Pertama mereka yang menetap di dar al-Islam dan mempunyai komitmen yang kuat untuk mempertahankan dar al-Islam. Termasuk kedalam kelompok ini adalah orang Islam yang menetap sementara waktu di dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap komitmen kepada Islam serta mengakui pemerintahan Islam.
Kedua, muslim yang tinggal menetap di dar al-harb dan tidak berkeinginan untuk hijrah ke dar al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, SYafi’i dan Ahmad, sama dengan muslim lainnya di dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai Islam. Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin.
2. Ahl al-Zimmi
Kata dzimmah berarti perjanjian, atau jaminan dan keamanan. Disebut demikian karena mereka mempunyai jaminan perjanjian (‘ahd) Allah dan Rasul-Nya, serta jamaah kaum Muslim untuk hidup dengan rasa aman di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Mereka (orang-orang kafir ini) berada dalam jaminan keamanan kaum Muslim berdasarkan akad dzimmah.
Implikasinya adalah, mereka termasuk ke dalam warga negara Darul Islam. Akad dzimmah mengandung ketentuan untuk membiarkan orang-orang non muslim tetap berada dalam keyakinan/agama mereka, disamping menikmati hak untuk memperoleh jaminan keamanan dan perhatian kaum Muslim. Syaratnya adalah mereka membayar jizyah serta tetap berpegang teguh terhadap hukum-hukum Islam di dalam persoalan-persoalan publik. Landasan adanya penarikan jizyah dari ahl al-zimmi yaitu dalam Surat At Taubah ayat 29.
Unsur-unsur seseorang dikatakan ahl al-zimmi yaitu: Non-muslim, baligh, berakal, laki-laki, bukan budak, tinggal di dar al-Islam dan mampu membayar jizyah.
Yang dikatakan non-muslim adalah ahl al-Kitab, murtad, dan orang musyrik.
a. Sebagaimana pendapat Abu Bakar ibnu Ali al-Jashshash yang dikutip oleh Dr. Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, ahl al-Kitab yang tergolong ahl al-zimmi yaitu Yahudi dan Nasrani, serta Majusi.
b. Mayoritas ulama sepakat mengenai ketidakbolehan orang-orang murtad melakukan akad zimmah dengan pemerintahan Islam, berdasarkan firman Allah QS. Al-Fath, 48:16, yang artinya: Kamu perangi mereka, atau mereka sendiri menyerah masuk Islam.
c. Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menerima orang musyrik sebagai ahl al-zimmi. Mazhab Syafi’i, Hambali, Zahiri, dan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa pemerintahan Islam tidak boleh menerima orang musyrik yang bukan ahl al-Kitab sebagai ahl al-zimmi dan memungut jizyah mereka. Mereka berlandaskan pada QS. Al-Taubah, 9:5: Perangilah orang-orang musyrik dimana pun kamu bertemu dengan mereka. Sedangkan Imam Malik, al-Auza’i dan Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa jizyah boleh diambil dari orang non-muslim mana pun, tanpa memandang mereka sebagai ahl al-Kitab atau bukan.
3. Musta’min
Menurut Ahli Fiqih, musta’min adalah orang yang memasuki wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah setempat, baik ia muslim maupun harbiyun. Menurut al-Dasuki yang dikutip oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, antara musta’min dan mu’ahid mempunyai pengertian sama. Mu’ahid adalah orang non muslim yang memasuki wilayah Dar al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke wilayah Dar al-Harb.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai masa berlakunya perjanjian jaminan keamanan bagi musta’min. Menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh melebihi empat bulan. Menurut Mazhab Maliki yaitu jika perjanjian tersebut tidak dibatasi oleh waktu, maka dalam waktu empat bulan berakhir dengan sendirinya. Sedangkan jika dibatasi oleh waktu, maka perjanjian berakhir sesuai kesepakatan. Menurut Mazhab Hanafi dan Syi’ah Zaidiyah, maksimal selama satu tahun. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal menentukan paling lama, yaitu empat tahun.
4. Harbiyun
Kafir Harbi adalah setiap orang kafir yang tidak tercakup di dalam perjanjian (dzimmah) kaum Muslim, baik orang itu kafir mu’ahid atau musta’min, atau pun bukan kafir mu’ahid dan kafir musta’min.
Ditinjau dari aspek hukum, kafir harbi dibagi menjadi dua, yaitu (1) kafir harbi hukman, artinya secara de jure (secara hukum) kafir harbi, dan (2) kafir harbi fi’lan atau kafir harbi haqiqatan (de facto) yakni orang-orang kafir yang tengah berperang/memerangi kaum Muslim.
















BAB III
KESIMPULAN
1. Siyasah Dauliyah bermakna: kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial, nasionalitas, ektradisi, tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishash. Dasar-dasar Siyasah Dauliyah, diantaranya adalah: kesatuan umat manusia, al-‘adalah, musawah, karomah insaniyah, tasamuh, kerja sama kemanusiaan, hurriyah, dan akhlakul karimah.
Hubungan Internasional dibagi menjadi dua yaitu hubungan Internasional dalam waktu damai dan hubungan internasional dalam waktu perang.
2. Jumhur ulama’ membagi negara menjadi dua, yaitu dar al-Islam dan dar al-harb.
Berdasarkan tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk menetap di wilayah Dar al-Islam, maka dar al-Islam terbagi dalam 3 bagian, yaitu: tanah suci, wilayah Hijaz, dan selain keduanya. Sedangkan dar al-harb dibedakan menjadi 3, yaitu: negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok dar al-Islam, negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar al-Islam, dan negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb.
3. Berdasarkan agama yang diyakini seseorang, Negara yang menjadi tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan Islam, maka para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang menjadi muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari ahl al-zimmi, musta’min, dan harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl al-zimmi dan musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan harbiyun.




DAFTAR PUSTAKA

H.A. Djazuli. 2009. Fiqh Siyasah implementasi kemaslahatan umat dalam rambu-rambu syariah. Jakarta: Kencana.
http://rasyidbungadakwah.blogspot.com/2010/03/pulau-gebe-kab-halmahera-tengah.html, diakses pada tanggal 31 Mei 2011
http://zahratunisa.blogspot.com/2010/05/fiqh-siyasah.html, diakses pada tanggal 28 Juni 2011
Imam al-Mawardi. 2006. Al-Ahkam al-Shulthaniyyah, Penerjemah: Fadli Bahri. Jakarta: Darul Falah.
J. Suyuthi Pulungan. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah Dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad Iqbal. 2007. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.