This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 26 April 2011

Senin, 25 April 2011

HUKUM ASURANSI


HUKUM ASURANSI
A.     Pengertian
Asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi jiwa merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran atau premi seluruh peserta asuransi.
Asuransi dipersamakan dengan akad mudharabah musyarokah, dimana beberapa orang menyerahkan modal atau premi kepada pengelola / lembaga asuransi untuk dikelolah, ketika salah satu mengalami kecelakaan maka dari hasil mudharabah tersut dibuat untuk membantu orang yang sedang mengalami musibah.
B.     Rukun Asuransi Jiwa
Adapun hal-hal yang bersangkutan dengan asuransi atau rukun-rukun yang ada pada asuransi adalah:
1.    Muammin (Tertanggung), yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda
2.    Muamman (Penanggung), Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda
3.    Premi, kewajiban tertanggung membayar sejumlah uang yang telah disepakati kepada penanggung.
4.    Ganti Rugi, ganti rugi oleh penanggung kepada tertanggung ketingga terjadi musibah berupa kecelakaan atau sampai meninggal.
5.    Evenemen, yaitu adanya kejedian/ musibah berupa kecelakaan.



C.     Hukum Asuransi
permasalahan asuransi jiwa ini tidak dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan pendapat sukar dihindari.
Sebagian ulama kontemporer seperti ayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). mengaharamkan segala bentuk macam asuransi dengan berbagai alasan:
-          Asuransi sama dengan judi
-          Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti.
-          Asuransi mengandung unsur riba/renten.
-          Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
-          Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
-          Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
-          Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
Akan tetapi tidak semua asuransi mengandung unsur-unsur yang diatas. Ada juga asuransi yang dilakukan dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah hukum syariat juga ada. Oleh karena itu sebagian Ulama membolehkan asuransi seperti Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas
Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd.
Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha).
Dalam akad asuransi ada unsur maslahat dimana keduanya saling menguntungkan, dan tidak ada yang dirugikan karena akad yang dilakukan atas dasar ta`awun dan tidak ada niat untuk menguntungkan diri sendiri, berbeda dengan judi. Melihat persoalan di atas dimana  seseorang mengansuransikan dirinya, agar ketika di waktu yang akan datang secara tidak disengaja mengalami kecelakaan dan ia tidak mempunyai uang untuk berobat maka dengan asuransi sesorarang lebih merasa aman dan tidak menggantungkan pada yang lain.
Asuransi diperbolehkan karena tidak di jelaskan dalam nash secara jelas dalam artian nash tidak melarangnya. Di dalam akad asuransi juga mengandung unsur-unsur:
1.      Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
2.      Saling menguntungkan kedua belah pihak.
3.      Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
4.      Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
5.      Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
Oleh karena itu Asuransi diperbolehkan jika dilakukan secara syar’i, dan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.      Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
2.      Objek Asuransi adalah sesuatu yang halal.
3.      Tidak mengeksploitasi/memeras (seperti menaikkan harga yang kelewat batas). (HR. Bukhari, Muttafaq 'alaih)
4.      menjunjung tinggi kesepakatan, seperti dijelaskan dalam al-Quran surah al-Maidah 1 : "Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu".Rasulullah juga menegaskan: "Umat Islam terikat dengan persyaratan mereka"(H.R. Abu Dawud)
5.       Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
6.      Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
7.      Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
8.      Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
9.      Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.

Rabu, 13 April 2011

PEMBUKTIAN

BAB II
PPEMBAHASAN
A. Pengertian
Untuk mendapatkan pengertian yang tepat dan mencakup tentang apa yang dimaksud pembuktian, terlebih dahulu kita pahamkan pengertian bukti, membuktikan, terbukti baru yang terakhir pembuktian. Menurut W.J.S poerwadarminta, secara kebahasa’an bukti adalah sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran sesuatu hal. Sedang Tanda bukti, barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tanda suatu perbuatan (kejahatan dsb). Adapun kata Membuktikan mengandung ma’na-ma’na: memperlihatkan bukti atau melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran, melaksanakan (cita-cita dsb). Jadi, kata Pembuktian menunjuk pada perbuatan dan usaha-usaha untuk membuktikan. Adapun dalam pengertian yuridis, sebagaimana yang dikatakan A Hamzah Bukti yaitu sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian atau dakwa’an. Alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenakan untuk dipakai membuktikan dalil-dalail atau dalam perkara pidana dakwa’an sidang pengadilan.
pembuktian adalah memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.(prof. dr.sudikno mertokusumo SH. 1981
Menurut yahya harahap, S.H. (1991:01) dalam pengertiannya yang luas, pembuktian adalah kemampuan penggugat atau tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa hukum yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Sedang dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal-hal yang masih disengketahkan atau hanya sepanjang yang menjadi perselisihan dianyara pihak-pihak yang berperkara.
dengan menyimak berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa alat bukti adalah suatu hal yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat memperkuat dakwa’an, tuntutan atau gugagatan maupun guna menolak dakwa’an tuntutan atau gugatan. Sedangkan pembuktian ialah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajaukan ataupun dipertahankan sesuai hukum acara yang berlaku.

B. Asas-Asas Pembuktian
Dalam hukum acara perdata, asas pembuktian dapat kita temukan pada pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per). Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Pasal tersebut menyatakan bahwa pembuktian pada suatu saat bisa dibebankan pada penggugat, pada saat yang lain bisa dibebankan pada tergugat.
Hadits dari Abdullah bin Abbas yang menjadi asas pembuktian adalah sebagai berikut:
لو يعطى الناس بدعواهم , لادعى رجال أموال قومآ ودماءهم , لكن البينة على المدعي واليمين على من أنكر
“Jika gugatan seseorang dikabulkan begitu saja, niscaya akan banyak orang yang menggugat hak atau hartanya terhadap orang lain, tetapi (ada cara pembuktiannya) kepada yang menuntut hak (termasuk yang membantah hak orang lain dan menunjuk suatu peristiwa tertentu) dibebankan untuk membuktikan dan (bagi mereka yang tidak mempunyai bukti lain) dapat mengingkarinya degnan sumpahnya”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Asas yang tersirat dalam hadits tersebut adalah bahwa sumpah pengingkaran (negatie) tidak dianggap sebagai alat bukti, kecuali sumpah pemutus yang diminta oleh pihak lawan.
C. Sistem Pembuktian
Jenis-jenis sistem pembuktian, berdasarkan kepustakaan ada empat jenis sistem pembuktian yaitu:
1. Sistem pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (positif wettelijke bewijstheorie)
Dikatakan positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang saja. Artinya jika terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka disini keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formule bewijstheorie)
2. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (convictime intime)
Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim ini didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan pada alat-alat bukti dalam undang-undang. Sistem ini dianut oleh peradilan jurydi perancis.
3. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim secara logis (La conviction raisonee)
Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya. Keyakinan ini berdasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.
4. Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negative (negatief wettelijke)
Sistem pembuktian ini adalah hakim dapat memutuskan seseorang bersalah yang berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang sehingga hakim memperoleh keyakinan akan hal itu.
D. Teori Pembuktian
1. Teori-Teori Tentang Penilaian Pembuktian
Dalam hukum acara perdata, menurut Prof. sudikno Mertokusumo bahwa persoalan pembuktian ada beberapa teori diantaranya:
a) Teori pembuktian bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepadanya.
b) Teori pembuktian negatif
Teori ini harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negative, yaitu bahwa ketentuan ini harus membatasi pada larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim di sini diilarang dengan pengecualian (pasal 169 HIR, 306 R.bg), 1905 BW)
c) Teori pembuktian positif
Disamping adanya larangan, teori ini juga menghendaki adanya perintah kepada hakim. Di sini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (pasal 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)
Dalam praktek jelas ada keterkaitan hakim dengan Undang-Undang sebagaimana pasal 169 HIR dan juga suatu akta autentik itu merupakan bukti sempurna, kecuali terbukti sebaliknya, misalnya akta tersebut diduga palsu. Pada umumnya sepanjang UU tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan, adalah hakim, dan hanyalah jdex facti saja. Oleh karena itu mahkama agung tidak dapat mempertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi. (MA. 29 juli 1967, dikutip oleh prof. sudikno M, 1981).
2. Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian
Dalam bukunya Abdul Manan teori Beban Pembuktian yang dapat di jadikan pedoman hakim dalam memeriksa perkara yang diajukan kepadanya.
a) Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.
b) Teori hukum Subyetif
Teori ini bertujuan untuk mempertahankan hukum subyektif dan selalu merupakan pelaksana hukum subyektif. Asas pembuktian sebagaimana yang tersebut dalam pasal 283 R.Bg yaitu siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai suatu hak maka ia harus membuktikannya tentang adanya hak itu.
c) Teori hukum obyektif
Mengajukan gugatan atau tuntutan hak ke pengadillan berarti meminta kepada hakim agar menerapkan ketentuan dalam undang-undang hukum obyektif kepada peristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan itu dan kemudian hukum obyektifnya untuk diterapnan dalam peristiwa.
d) Teori hukum public
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
e) Teori hukum acara
Teori ini didasarkan pada asas kedudukan prosesuil yang sama dari pihak-pihak yang berperkara di muka majlis hakim atau dapat disebut asas audi et alteram. Pembebanan beban pembuktian model ini adalah sama diatara para pihak, sehingga kemungkinan dalam berperkara untuk menang adalah sama sebab kesempatannya adalah sama, seimbang dan patut.
E. Alat Bukti
Alat bukti merupakan suatu alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim di muka pengadilan. Dipandang dari segi pengadilan, alat bukti merupakan alat atau upaya yang bisa dipergunakan hakim untuk memutus perkara.
1. Alat Bukti Tertulis
Alat bukti tertulis adalah sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Surat-surat sebagai alat bukti tertulis terbagi atas akta otentik, akta bukan otentik (akta di bawah tangan), dan surat-surat lainnya yang bukan termasuk akta.
a. Akta otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, menurut ketentuan tertentu yang telah ditetapkan.
Kedudukan akta otentik sebagai alat bukti merupakan alat bukti yang sempurna. Isi akta dipandang sebagai suatu yang benar terpercaya terutama tentang pihak-pihak yang namanya tercantum dalam akta.
b. Akta bukan Otentik (akta di bawah tangan)
Akta bukan otentik atau akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak degnan sengaja untuk pembuktian, tetapi tanpa bantuan dari seorang pejabat.
Kedudukan akta di bawah tangan sebagai alat bukti mempunyai kekuatan sebagaimana akta otentik kalau pihak-pihak yang bersangkutan mengakui kebenarannya.
c. Surat-surat lain yang bukan akta
Segala macam tulisan yang tidak termasuk akta misalnya surat pribadi, surat rumah tangga, register-register dan lain-lain. Ketentuan surat-surat non akta ini terserah hakim dalam penilaiannya.
Kedudukan surat ini sebagai alat bukti tidak mempunyai kekuatan yang sempurna dan masih memerlukan adanya adanya bukti-bukti lain.

2. Alat Bukti Saksi
Saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar, dan ia alami sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.
Bukti saksi diatur dalam pasal 139-152 HIR dan 168-172 HIR, pasal 165-179 RBg, pasal 1902-1912 BW. Adapun menurut Islam tertera dalam Surat Al Baqarah ayat 282 dan masih banyak ayat serta hadits yang mengatur persaksian dalam sidang.
Apabila saksi telah memenuhi syarat formil dan materil, maka ia mempunyai pembuktian bebas. Hakim bebas menilai kesaksian orang yang menjadi saksi. Hakim tidak terikat dengan keterangan saksi. Hakim dapat menyingkirkannya asal dipertimbangkan dengan cukup berdasarkan argumentasi yang kuat.
3. Alat Bukti Persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa terkenal atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal (belum terbukti).
Hukum Acara Peradilan Agama memakai istilah Qarinah yang mempunyai arti, hal-hal yang mempunyai hubungan atau pertalian yang erat sedemikian rupa terhadap sesuatu sehingga memberikan petunjuk.
Menurut hukum acara peradilan, persangkaan dibagi atas dua macam, yaitu persangkaan hakim dan persangkaan undang-undang.
a. Persangkaan Hakim
Persangkaan hakim adalah kesimpulan hakim yang ditarik atau sebagai hasil dari pemeriksaan sidang. Persangkaan hakim harus dan hanya memperhatikan hal-hal yang penting, teliti, tertentu dan sesuai hubungan satu sama lain.
b. Persangkaan Undang-undang
Persangkaan undang-undang adalah kesimpulan yang ditarik hakim berdasarkan undang-undang. Persangkaan undang-undang ada yang bersifat masih memperbolehkan pembuktian lawan dan ada juga yang bersifat membebaskan dari pembuktian lebih lanjut.
Kekuatan bukti persangkaan bersifat memaksa. Hakim terikat pada ketentuan undang-undang, kecuali jika ia dilumpuhkan oleh bukti lawan.

4. Alat Bukti Pengakuan
Pengakuan ialah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain.
Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 174-176 HIR, pasal 311-313 R.Bg, dan dalam pasal 1923-1928 BW.
Ada beberapa macam bentuk pengakuan. Yaitu, pengakuan murni, pengakuan dengan kualifikasi, dan pengakuan dengan klausula.
a. Pengakuan murni
Pengakuan murni adalah pengakuan yang bersifat sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan.
Dalam hal ini, hakim terikat dengan pengakuan tersebut, kecuali dalam perkara perceraian yang perlu didukung dengan alat bukti lain.
Pengakuan murni di muka sidang merupakan bukti yang sempurna. Dengan adanya pengakuan, maka sengketa dianggap telah selesai. Pengakuan di muka hakim tidak dapat ditarik kembali, kecuali kalau terbukti bahwa pengakuan itu adalah akibat dari suatu kesalahan atau kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi (pasal 1926 BW).
b. Pengakuan dengan kualifikasi
Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan.
Pada hakikatnya, pengakuan dengan kualifikasi ini tidak lain adalah jawaban tergugat yang sebagian terdiri dari pengakuan dan sebagian terdiri dari sangkalan. Pengakuan seperti ini haruslah diterima seutuhnya dan tidak boleh dipisah-pisahkan.
c. Pengakuan denga kalusula
Pengakuan dengan klausula adalah suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan
Sama halnya pengakuan dengan kulaifikasi yang tidak boleh dipisah-pisahkan. Pengakuan dengan klausula juga tidak boleh adanya pemisahan di dalamnya. Dalam menghadapi pengakuan ini, hakim harus bijaksana dan arif serta adil dalam membagi beban pembuktian para pihak.



5. Alat Bukti Sumpah
Sumpah sebenarnya bukan merupakan alat bukti. Akan tetapi, ada dua macam sumpah yang bisa menjadi alat bukti.
a. Sumpah penambah
Sebagai tambahan alat bukti dalam hal diperintahkan hakim kepada salah satu pihak apabila telah ada bukti tapi belum cukup dan tidak ada kemungkinan untuk menambah dengan alat bukti lain untuk menyempurnakan pembuktian tersebut (pasal 156 HIR).
b. Sumpah pemutus
Sumpah yang diminta oleh salah satu pihak untuk dibebankan kepada pihal lawan. Sumpah ini dapat dibebankan walaupun sama sekali tidak ada alat bukti (pasal 156 HIR).
F. Tujuan Pembuktian
Pembuktian merupakan unsur penting dalam suatu persidangan. Tujuan dari pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa peristiwa hukum yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.
Sudah menjadi communis opinio seperti yang telah diketengahkan dimuka, bahwa membuktikan berarti memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Secara tidak langsung bagi hakim, karena hakim yang harus mengkonstatif peristiwa, menghklarifikasirnya dna kemudian mengkonstituir, maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. walaupun putusan itu diharuskan obyektif, namun dalam hal pembuktian dibedakan antara pembuktian dalam perkara perdata yang tidak secara tegas disyaratkan adanya keyakinan. Di inggirs, disyaratkan, bahwa didalam perkara pidana peristiwanya harus beyond reasonable doubt sedang dalam perkara perdata cukup dengan preponderance of evidence.