This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 28 Juni 2011

GADAI SYARIAH

A. Pengertian Gadai Syari’ah
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats- tsubut wa ad-dawam, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat (38) yaitu : “Setiap orang bertanggung jawab atas apa yarg telah diperbuatnya.”
Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa kata ar rahn berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan; sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Namun, pengertian gadai yang terungkap dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Karena itu, makna gadai (rahn) dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan rungguhan. Sedangkan pengertian gadai (rahn) dalam hukum Islam (syara') adalah menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.
Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan di atas, Zainuddin Ali lebih lanjut mengungkapkan pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli hukum Islam sebagai berikut:
1. Ulama syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut :
Menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayar utangnya.
2. Ulama Hanabilah mengungkapkan sebagai berikut :
Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berharga tidak sanggup membayar utangnya.
3. Ulama Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut :
Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
4. Ahmad Azhar Basyir
Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara' sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
5. Muhammad Syafi'i Antonio
Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhum) atas utang/lpinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam di atas, dapat diketahui bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untu mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan. Karena itu, tampak bahwa gadai syariah merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas/perhiasan/kendaraan dan/atau harta benda lainnya sebagai jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau lembaga pegadaian syariah berdasarkan hukum gadai syariah; sedangkan pihak lembaga pegadaian syariah menyerahkan uang sebagai tanda terima dengan jumlah maksimal 90% dari nilai taksir terhadap barang yang diserahkan oleh penggadai Gadai dimaksud, ditandai denga mengisi dan menandatangani Surat Bukti Gadai (Ruhn).
Jika memperhatikan pengertian gadai (rahn) di atas, maka tampak bahwa fungsi dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam uang a¬¬dalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan/atau jaminan keamanan uang yang dipinjamkan. Karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial, sehingga dalam buku fiqh mu'amalah akad ini merupakan akad tabarru’ atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan.

B. Dasar Hukum Gadai Syari’ah
Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syari’ah adalah ayat-ayat Al Qur’an, Hadits Nabi Muhammad SAW., Ijma’ ulama, dan fatwa MUI.
1. Al Qur’an
        •                            
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Syaikh Muhammad ‘Ali Sayis berpendapat bahwa ayat Al Qur’an di atas adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang.
Fungsi barang gadai (marhun) pada ayat di atas adalah untuk menjaga kepercayaan masing-masing pihak, sehingga penerima gadai (murtahin) meyakini bahwa pemberi gadai (rahin) beriktikad baik untuk mengembalikan pinjamannya (marhun bih) dengan cara menggadaikan barang atau benda yang dimilikinya (marhun), serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utangnya itu. Sekalipun ayat tersebut, secara literal mengindikasikan bahwa rahn dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan musafir. Hal ini, bukan berarti dilarang bila dilakukan oleh orang yang menetap dan/atau bermukim.
Sebab, keadaan musafir ataupun menetap bukanlah merupakan suatu persyaratan keabsahan transaksi rahn. Apalagi, terdapat sebuah hadis yang mengisahkan bahwa Rasulullah saw. menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, untuk mendapatkan makanan bagi keluarganya, pada saat beliau tidak melakukan perjalanan.
2. Hadits Nabi Muhammad
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikannya dengan besi” (HR. Muslim).
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِه
“Dari Anas: Rasulullah telah merengguhkan baju besi beliau kepada seorang yahudi di Madinah sewaktu beliau berutang gandum dari seorang yahudi untuk keluarga beliau” ( HR. Ahmad, Bukhari, Nasa’i, Ibnu Majah).
Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yang berbunyi:
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Muqatil, mengabarkan kepada kami Abdullah bin Mubark, mengabarkan kepada kami Zakariyya dari Sya’bi dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, bahwasannya beliau bersabda: Kendaraan dapat digunakan dan hewan ternak dapat pula diambil manfaatnya apabila digadaikan. Penggandai wajib memberikan nafkah dan penerima gadai boleh mendapatkan manfatnya. (HR. Al-Bukhari)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., yang berbunyi:
Barang gadai tidak boleh disembunyikan dari pemilik yang menggadaikan, baginya risiko dan hasilnya. (HR. Asy-Syafi'i dan Ad-Daruquthni).
3. Ijma
Jumhur Ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad kepada mereka.
4. Fatwa MUI
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenan gadai syariah, di antaranya dikemukakan sebagai berikut:
a. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 25/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn;
b. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas;
c. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 09/DSN-MUI/IV/2000, tentang Pembiayaan Ijaroh;
d. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 10/DSN-MUI/IV/200, tentang Wakalah;
e. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 43/DSN-MUI/VIII/2004, tentang Ganti Rugi.
1. Rukun dan Syarat Gadai Syariah
Dilihat dari rukun dan syarat syah gadai ada;ah sebagai berikut:
a. Rukun gadai antara lain:
1) Lafadz yakni pernyataan adanya perjanjian (Sighat)
2) Adanya pemberi gadai ( Rahim ) dan penerima gadai (Murtahim)
3) Adanya barang yang di gadaikan/jaminan (Marhun)
4) Adanya utang (marhun bih)
b. Sedangkan syarat sahnya antara lain.
1) Rohn dan Murtahin harus berakal dan baligh artinya cakap untuk melakukan perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syariat islam. Setipa orang yang sah melakukan jual beli sah melakukan gadai, yakni berakal dan mumaiyis, tetapi tidak disyaratkan untuk harus baligh.
2) Sighat tidak boleh terkait denagn masa yang akan datang dan syarat-syarat tertentu.
Ulama Syafi’yah berpendapat bahwa syarat dalam rahn ada tiga
a) Syarat sahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat membayar sehingga jaminan tidak disita.
b) Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermamfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminan yang diberi makanan tertentu, syarat seperti itu batal, tetapi akadnya sah.
c) Syarat yang merusak akad,seperti mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan murtahin.
3) Marhun bih/ Hutang harus merupakan hak yang wajib diberikan atau diserahkan kepada pemiliknya, memungkinkan pemanfaatannya bila sesuatu yang menjadi itu tidak bisa dimanfaatkan maka tiak sah, harus dikuantifikasikan atau dapt dihitung jumlahnya bila tidak dapat diukur atau tidak dikuantifikasi, rahn itu tidak sah.
c. Status dan Jenis Barang Gadai
1) Status Barang Gadai
Ulama fiqh menyatakan bahwa rahn baru dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan itu secara hukum sudah berada di tangan penerima gadai, dan uang yang dibutuhkan telah diterima oleh pemberi gadai.
2) Jenis Barang Gadai
Jenis barang gadai adalah barang yang dijadikan agunan oleh rahin sebagai pengikat utang, dan dipegang oleh murtahin sebagai jaminan utang. Harta yang dapat digadaikan adalah barang-barang yang memenuhi kategori:
a) Barang yang dapat dijual
b) Barang gadai harus berupa harta menurut pandangan syara’
c) Barang gadai harus diketahui
d) Barang tersebut merupakan milik rahin
2. Hak dan Kewajiban Pihak yang Berakad
a. Penerima Gadai (Murtahin)
1) Hak Penerima Gadai
a) Apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo, murtahin berhak untuk menjual marhun.
b) Untuk menjaga keselamatan marhun, pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang dikeluarkan.
c) Pemegang gadai berhak menahan barang gadai dari rahin, selama pinjaman belum dilunasin
2) Kewajiban Penerima Gadai
a) Apabila terjadi sesuatu (hilang ataupun cacat) terhadap marhun akibat dari kelalaian, maka marhun harus bertanggung jawab.
b) Tidak boleh menggunakan marhun untuk kepentingan pribadi.
c) Sebelum diadakan pelelengan marhun, harus ada pemberitahuan kepada rahin
b. Pemberi Gadai (Rahin)
1) Hak Pemberi Gadai
a) Setelah pelunasan pinjaman, rahin berhak atas barang gadai yang diserahkan kepada murtahin
b) Apabila terjadi kerusakan atau hilangnya barang gadai akibat kelalaian murtahin, rahin menuntut ganti rugi atas marhun.
c) Setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya, rahin berhak menerima sisa hasil penjualan marhun.
d) Apabila diketahui terdapat penyalahgunaan marhun oleh murtahin, maka rahin berhak untuk meminta marhunnya kembali
2) Kewajiban Pemberi Gadai
1) Melunasi pinjaman yang telah diterima serta biaya-biaya yang ada dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
2) apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi pinjamannya, maka harus merelakan penjualan atas marhun pemiliknya
3) Barang gadai (Marhun) harus bisa diperjual belikan, harus berupa harta yang bernilai, bisa dimanfaatkan secara syariah, harus diketahui keadaan fisiknya dan milik sendiri atau dapat izin dari pemiliknya.
Menurut fatwa DSN-MUI No. 25 / DSN-MUI/III/2002 gadai syariah harus memenuhi ketentuan umum sebagai berikut:
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua hutang rahn (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahn, pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahn, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahn, namun dapat dilakukanjuaga oleh murtahin¸sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahn.
4. Besar biaya pemeliharaan dan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun:
a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan Rahn untuk segera melunasi hutangnya.
b. Apabila Rahn tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun dijual paksa/ dieksekusi melalui lelang sesuat syariah.
c. Hasil penjaualan Marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahn dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahn.
Penjualan marhun harus dilakukan di depan umum dan sebelum penjualan dilakukan biasanya hal itu harus diberitahukan lebih dahulu kepada rahn.
3. Pemanfaatan Barang Gadai
Para ulama memiliki perbedaan pendapat berkenaan pemanfaatan barang gadai.
1. Ulama Syafi’iyyah
Menurut ulama’ Syafiiyyah bahwa yang mempunyai hak atas manfaat harta benda gadai adalah pemberi gadai walaupun marhun itu berada di bawah kekuasaan penerima gadai.
2. Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa penerima harta benda gadai hanya dapat memanfaatkan harta benda gadaian atas izin dari pemberi gadai dengan persyaratan sebagai berikut:
a. Utang disebabkan dari jual beli, bukan karena mengutangkan.
b. Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari harta benda gadaian diperuntukkan pada dirinya.
c. Jika waktu pengambilan manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan apabila tidak ditentukan batas waktunya maka menjadi batal
3. Ulama Hanabilah
Menurut pendapat ulama Hanabilah, persyaratan bagi murtahin untuk mengambil manfaat harta benda gadai yang berupa hewan adalah:
a. Ada izin dari pemilik barang
b. Adanya gadai bukan karena mengutangkan
4. Ulama Hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah, sesuai dengan fungsi dari barang gadai adalah sebagai jaminan dan kepercayaan bagi penerima gadai. Apabila barang itu dimanfaatkan oleh penerima gadai, maka berarti menghilangkan manfaat dari barang tersebut, padahal barang itu memerlukan pemeliharaan.

Minggu, 26 Juni 2011

Arbitrase

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Sedangkan arbitrase menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat (1 ” arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”
Dasar-dasar Arbitrase
 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa
 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
 Keputusan Presiden No.34 Tahun 1981 Tentang Pengakuan Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan Putusan Arbitrase Asing
 Undang Undang No.5 Tahun 1968 Tentang Ratifikasi World Bank Covention
 Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1990 Tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri
 Perjanjian / klausula arbitrase dari para pihak
Objek Arbitrase
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Di dalam Pasal 4 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang menyelesaikan sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase dan putusan arbitrase adalah final (final and binding), artinya tidak dapat dilakukan banding, peninjauan kembali atau kasasi, serta putusannya berkekuatan hukum tetap bagi para pihak.
Beberapa Alasan mengapa penyelesaian sengketa dengan arbitrase:
 Penyelesaian sengketa melalui arbitarse tidak memerlukan formalitas yang kaku dan ketat,hukum acaranya dapat ditentukan sendiri oleh pihak yang bersengketa;
 Arbiter dapat dipilih sendiri oleh para pihak sesuai dengan keahliannya;
 Lebih cepat dan hemat biaya;
 Menjamin kerahasiaan bagi para pihak;
 Putusannya mencerminkan nilai-nilai keadilan bagi para pihak;
 Putusan bersifat final dan banding;
 Putusan arbitase dapat dieksekusi secara paksa melalui pengadilan
 Putusan arbitase dapat dieksekusi di negara lain yang menjadi anggota konvensi New York 1958;
 Putusan arbitrase bersifat non preseden.
Jenis Arbitrase
1. Arbitrase Ad Hoc (Arbitrase Volunteer)
Arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu.
2. Arbitrase Institusional
Merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen, contohnya di Indonesia yaitu BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) sedangkan lembaga arbitrase internasional misalnya The International Center of Settlement of investment Disputes (ICSID).

Mediasi

Ada banyak pengertian yang menjelaskan mediasi di antaranya:
• Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimanasuatu pihak luar, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yangbesengketa, membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatukesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. (Goodpaster, 1999 : 241)
• “Mediasi” adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang disengketakan. (PBI No. 8/5/PBI/2006, angka 5)
Jadi mediasi adalah merupakan forum penyelesaian sengketa melalui proses negosiasi atau perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang netral dan dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Mediator secara prosedural mempunyai peran untuk membantu para pihak dengan cara membuat saran-saran prosedural mengenai cara-cara penyelesaian sengketa secara damai.
Seorang mediator harus mempunyai wawasan dan kesetiaan pada prinsip-prinsip keadilan yang luas,kesamaan dan kesukarelaan untuk ditanamkan dalam pertukaran negosiasi di antara para pihak.
Kerangka Waktu dalam Mediasai adalah 30 hari sejak mediasi dimulai harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak (Pasal 6 ayat (7) UU No.30/1999). Putusan/kesepakatan hasil mediasi wajib didaftarkan dipengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak penandatangan (Pasal 6 ayat (8) UU No.30 /1999). Kewajiban pendaftaran ini merupakan wajib yang sifatnya fakultatif oleh karena pelanggaran atas kewajiban tidak memiliki implikasi hukum apa-apa terhadap hasil kesepakatan.
Adapun Sifat Putusan hasil mediasi adalah bersifat final dan mengikat dengan itikad baik bagi para pihak.
Unsur-unsur mediasi
1. penyelesaian sengketa dilakukan sendiri oleh para pihak;
2. dengan bantuan seorang atau lebih mediator yang netral;
3. berdasarkan perjanjian tertulis;
4. putusan diambil oleh para pihak sendiri secara konsensus;
5. putusan yang dihasilkan bersifat mengikat dengan itikad baik;
6. putusan dituangkan dalam bentuk tertulis(Perjanjian damai)
Tujuan Mediasi
1. Menghasilkan suatu rencana (kesepakatan) kedepan yang dapat diterima dan dijalankan oleh para pihak yang bersengketa;
2. mempersiapkan para pihak yang bersengketa untuk menerima konsekuensi dari hasil mediasi yang mereka sepakati;
3. mengurangi ketegangan dan konflik antara para pihak yang bersengketa dengan cara membantu mengatasi kendala psikologis dan teknis untuk menyelesaikan sengketa secara konsensus.
Tahapan-tahan dalam Mediasi
1. Tahap Pendahuluan
2. Tahap Presentasi dari para pihak
3. Tahap identifikasi masalah
4. Tahap mengidentifikasi dan mengurutkan permasalahan
5. Tahap negosiasi dan pembuatan keputusan

Sabtu, 11 Juni 2011

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
"Hukum Tata Negara Islam"





Oleh :
Muhammad Abdul Ghofur C51208033
Nurkhairani C51208041
Siti Nurhasanah .S. C51208047

Dosen Pembimbing :
Nur Lailatul Musyafa’ah, Lc, MHI.


JURUSAN AKHWALUS SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak. Kemuliaan akhlak ini haruslah tecermin dalam berbagai segi kehidupan untuk mewujudkan bahwa manusia adalah makhluk yang beradab dan memiliki aturan yang berbeda dengan makhluk lain. Oleh sebab itu, dalam Islam diatur pula hubungan antara sesama manusia khususnya atau dalam lingkup paling besar hubungan antar Negara.
Sebagaimana diketahui bahwa syarat terbentuknya suatu Negara diantaranya adalah ada suatu wilayah, penduduk/masyarakat, dan ada pemerintahan yang berdaulat. Berbedanya wilayah dan penduduk yang mendiami, membuat perbedaan pula karakter suatu Negara, sehingga adanya suatu pembagian-pembagian mengenai Negara.
Tidak hanya itu, kemajemukan penduduk suatu Negara membuat adanya suatu pembedaan dengan dilihat dari berbagai faktor. Dalam Islam perbedaan penduduk ini bisa dilihat dari agama yang dianutnya maupun wilayah tempat ia berdomisili. Akibat dari suatu pembedaan ini, berbeda pula hak maupun kewajiban yang akan diterima.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Siyasah Dauliyah?
2. Apa saja ruang lingkup Siyasah Dauliyah?
3. Bagaimana pembagian Negara dalam Islam?
4. Bagaimana pembagian penduduk dalam Islam?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian Siyasah Dauliyah.
2. Memahami ruang lingkup Siyasah Dauliyah.
3. Mengetahui pembagian Negara dalam Islam.
4. Mengetahui pembagian penduduk dalam Islam.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembagian Fiqih Siyasah Dauliyah dan Ruang Lingkupnya
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial, nasionalitas, ektradisi, tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishash. Atau dapat dikatakan yang mengatur hubungan antar Negara tersebut (Politik Hukum Internasional).
Dasar-dasar Siyasah Dauliyah, diantaranya sebagai berikut:
1. Kesatuan Umat Manusia
Meskipun manusia ini berbeda suku berbangsa-bangsa, berbeda warna kulit, berbeda tanah air bahkan berbeda agama, akan tetapi merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama makhluk Allah, sama bertempat tinggal di muka bumi ini, sama-sama mengharapkan hidup bahagia dan damai dan sama-sama dari Adam. Dengan demikian, maka perbedaan-perbedaan diantara manusia harus disikapi dengan pikiran yang positif untuk saling memberikan kelebihan masing-masing dan saling menutupi kekurangan masing-masing.
2. Al-‘Adalah (Keadilan)
Ajaran islam mewajibkan penegakan keadilan baik terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga, bahkan terhadap musuh sekalipun kita wajib bertindak adil. Banyak ayat-ayat yang berbicara tentang keadilan antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
Artinya:Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu
3. Al-Musawah (Persamaan)
Manusia memiliki hal-hal kemanusiaan yang sama, untuk mewujudkan keadilan adalah mutlak mempersamakan manusia dihadapan hukum. Demikian pula setiap manusia adalah subyek hukum, penanggung hak dan kewajiban yang sama.
4. Karomah Insaniyah (Kehormatan Manusia)
Karena kehormatan manusia inilah, maka manusia tidak boleh merendahkan manusia lainnya. Kehormatan manusia berkembang menjadi kehormatan terhadap satu kaum atau komunitas dan bisa dikembangkan menjadi suatu kehormatan suatu bangsa atau negara.
5. Tasamuh (Toleransi)
Allah mewajibkan menolak permusuhan dengan tindakan yang lebih baik, penolakan dengan lebih baik ini akan menimbulkan persahabatan bila dilakukan pada tempatnya setidaknya akan menetralisir ketegangan.
6. Kerja Sama Kemanusiaan
Kerjasama kemanusiaan ini adalah realisasi dari dasar-dasar yang telah dikemukakan di atas, kerja sama di sini adalah kerja sama di setiap wilayah dan lingkungan kemanusiaan. Kerja sama ini diperlukan karena ada saling ketergantungan baik antara individu maupun antara negara di dunia ini.


7. Kebebasan, Kemerdekaan/Al-Huriyah
Kemerdekaan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri dari pengaruh hawa nafsu serta mengendalikan dibawah bimbingan keimanan dan akal sehat. Dengan demikian, kebebasan bukanlah kebebasan mutlak, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab terhadap Allah, terhadap keselamatan hidup manusia di muka bumi, kebebasan bisa diperinci seperti kebebasan berfikir, kebebasan baragama, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan menuntut ilmu, kebebasan memiliki harta.
8. Perilaku Moral yang Baik (Al-Akhlakul Karimah)
Prilaku yang baik merupakan dasar moral di dalam hubungan antara manusia, antara umat dan antara bangsa di dunia ini selain itu prinsip ini juga diterapkan terhadap seluruh makhluk Allah di muka bumi termasuk flora dan fauna.

1. Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Damai
Damai adalah asas hubungan Internasional. Selain kewajiban suatu negara terhadap negara lain, yakni tentang menghormati hak-hak negara lain yang bertetangga dengan negara yang ditempati dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional.
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa hukum asal hubungan Internasional ada dua pendapat, pendapat yang pertama mengacu pada ayat-ayat perang (al-Baqarah:216, an-Nisa`:74, al-Anfal:65, at-Taubah:29), dan sabda Nabi: saya diperintahkan untuk memeragi manusia sampai merreka mengucapkan syahadat, melaksanakan sholat, dan mengeluarkan zakat. Kesimpulan dari kelompok pertama adalah inti hukum asal dalam hubungan internasional adalah perang.
Pendapat yang ke dua adalah sebaliknya bahwa hukum asal dalam hubungan internasional adalah adalah damai. Alasannya perang itu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak kedzaliman, menghindari fitnah dalam rangka mempertahankan diri sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran. Adapun hadits nabi di atas menurut kelompok ini, berlaku bagi orang atau kelompok yang merasuki atau memerangi islam untuk menolak kdzaliman mereka. Selain itu, pemaksaan di dalam memeluk agama pun tidak diperkanankan.

2. Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Perang
Sebab terjadinya perang:
a. Mempertahankan Diri
Dari kitab-kitab sejarah tarikh, cara Nabi Mohammad saw menhimpun kekuatan dan mempertahankan negeri madinah dari serangan-serangan musuhnya orang kafir kuraisy. Dalam perang badar, bukan Nabi yang menyerang akan tetapi mush nabi yang menyerang ka Madinah. Adapan waktu fathu Makkah, rasulullah datang ke Makkah bukan sebagai perang atau penakluk, meainkan sebagai pemberi amnesti umum disertai tetap menghormati harga diri tokoh-tokoh mekkah, seperti Abu Sofyan yang pada waktu itu masih kafir.
b. Dalam Rangka Dakwah
Perang juga bisa terjadi di dalam rangka menjamin jalannya dakwah. Artinya, dakwah kepada kebenaran dan keadilan serta pada prinsip-prinsip yang mulia tidak boleh dihalangi dan ditindas oleh penguasa manapun. Telah dijelaskan bahwa Islam tidak menghendaki pemaksaan beragama. Apabila penguasa memaksakan agamanya dan menindas kepada orang-orang muslim, penguasa-penguasa itu dikualifikasikan kepada penguasa yang dzalim. Prilaku seperti itulah yang dipertontonkan oleh penguasa Persia dan Romawi pada waktu itu yaitu tidak memberikan kebebasan kapada rakyatnya untuk memeluk agama yang diyakininya.
c. Etika dan Aturan Perang di dalam Siyasah Dauliyah
1) Dilarang membunuh anak.
2) Dilarang membunuh wanita yang tidak berperang.
3) Dilarang membunuh orang tua yang tidak ikut perang.
4) Tidak memotong dan merusak tanaman, sawah dan ladang.
5) Tidak membunuh binatang ternak
6) Tidak menghancurkan tempat ibadah.
7) Dilarang mencincang mayat musuh.
8) Dilarang membunuh pendeta dan pekerja.
9) Bersikap sabar, berani dan ikhlas.
10) Tidak melampaui batas.

B. Pembagian Negara Islam
Jumhur ulama membagi negara kepada dua bagian, yaitu dar al-Islam/ dar al-waqf (Syiah Zaidiyah)/ dar al-tauhid (Khawarij sekte Ibadiyah ) dan dar al-harb/ dar al-fasiq (Syiah Zaidiyah)/ dar al-syirk (Khawarij sekte Ibadiyah). Sementara ulama Syafi’iyah menambahkan kategori dar al-‘ahd atau dar al-aman disamping keduanya. Dar al-‘ahd adalah negara-negara yang berdamai dengan dar al-Islam, dengan peranjian tersebut, maka semua penduduk dar al-‘ahd tidak boleh diganggu jiwanya, hartanya, dan kehormatan kemanusiaannnya. Meskipun penduduknya tidak beragaa Islam, mereka diperlakukan seperti orang Islam dalam arti dilindungi hak-haknya.
Sedangkan menurut A. Djazuli, pembagian dunia pada masa sekarang adalah:
1. Al-Alam al-Islami (dunia Islam) yang terdiri dari:
a. Dawlah Islamiyah (negara Islam/Islamic States).
b. Baldah Islamiyah (negeri muslim/negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam/Muslim Countries).
2. Al-Alam al-‘Ahd: negara-negara yang berdamai dengan negara Islam.

1. Kriteria Dar al-Islam
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan identitas suatu negara apakah termasuk dar al-Islam. Diantara mereka ada yang melihat dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut. Ada pula yang memandang dari sisi keamanan warganya menjalankan syari’at Islam. Semantara ada juga yang melihat dari sisi pemegang kekuasaan tersebut.
a. Dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut
Imam Abu Yusuf, tokoh terbesar madzhab Hanafi berpendapat bahwa suatu negara disebut dar al-Islam bila berlaku hukum Islam di dalamnya, meskipun mayoritas warganya tidak muslim. Sementara dar al-harb, menurutnya adalah negara yang tidak meberlakukan hukum Islam, meskipun sebagian besar penduduknya beragama Islam.
Dalam pemikiran modern, pandangan demikian dianut oleh Sayyid Quthb. Ia memandang bahwa negara yang menerapkan hukum islam adalah dar al-Islam, tanpa mensyaratkan penduduknya harus muslim. Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang mensyaratkan penduduknya harus mayoritas muslim.
b. Dari sisi keamanan warganya menjalankan syariat Islam
Imam Abu Hanifah membedakan dar al-Islam dan dar al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati penduduknya. Bila umat Islam merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaan mereka, maka negara tersebut termasuk dar al-Islam. Sebaliknya, bila tidak ada rasa aman, maka negara tersebut termasuk dar al-harb.
c. Dari sisi pemegang kekuasaan negara tersebut
Menurut al-Rafi’i (salah seorang tokoh madzhab Syafi’i), suatu negara dipandang sebagai dar al-Islam apabila dipimpin oleh seorang muslim.
Menurut Javid Iqbal, dar al-Islam adalah negara yang pemerintahannya dipegang umat Islam, mayoritas penduduknya beragama Islam dan menggunakan hukum Islam sebagai undang-undangnya. Karena kekuasaan mutlak berada pada Allah, maka dar al-Islam harus menjunjung tinggi supremasi hukum Islam; selanjutnya, karena masyarakat muslim harus diperintah menurut hukum Islam, maka pemimpin pemerintahannya juga harus muslim agar mereka dapat melaksanakan hukum Islam.
Dalam perkembangan dunia modern, kriteria ini telah bergeser. Suatu negara disebut dar al-Islam bila penduduknya mayoritas beragama Islam, meskipun negara tersebut tidak sepenuhnya menjalankan hukum Islam contohnya Indonesia dan Mesir. Di samping itu, kriteria penerapan hukum Islam dalam suatu negara tentu merupakan hal terpenting dalam menentukan suatu negara disebut dar al-Islam, meskipun tidak sepenuhnya penduduknya beragama Islam, contohnya Iran, Malaysia, dan Pakistan. Kedua kriteria inilah yang digunakan oleh Organisasi Konperensi Islam (OKI) dalam menetapkan hukum Islam.
2. Pembagian Dar al-Islam
Berdasarkan tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk menetap di wilayah Dar al-Islam, maka dar al-Islam terbagi dalam 3 bagian, yaitu: tanah suci, Hijaz, dan selain keduanya.
a. Tanah suci (Kota Mekah dan wilayah sekitarnya).
Menurut jumhur ulama kota Madinah termasuk dalam wilayah ini. Di kedua wilayah ini non-muslim tidak boleh menetap. Bahkan untuk kota Mekah, di sekitar al-Masjid al-Haram, non-muslim sama sekali tidak boleh memasukinya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, kafir dzimmi dan kafir mu’ahid boleh memasuki Makkah tidak untuk menetap di dalamnya.
b. Wilayah Hijaz
Wilayah ini boleh dimasuki non-muslim dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintahan Islam. Tetapi mereka tidak boleh menetap di wilayah ini melebihi 3 hari. Ketentuan ini berdasarkan keputusan Khalifah ‘Umar bin Khaththab yang mengijinkan orang-orang Yahudi tinggal di Hijaz selama 3 hari untuk urusan dagang. Dalam al-Ahkam al-Shulthaniyah dijelaskan bahwa jika mereka bertempat tinggal di salah satu tempat di Hijaz lebih dari 3 hari, maka mereka dikenakan ta’zir jika mereka tidak diberi izin sebelumnya.
c. Wilayah dan negara-negara Islam lainnya
Di wilayah ini, pemerintah Islam boleh melakukan akad dzimmah dengan non-muslim. Mereka boleh masuk dan menetap di wilayah ini untuk sementara waktu berdasarkan perjanjian yang disetujui kedua belah pihak.

3. Pembagian Dar al-Harb
Muhammad Iqbal dalam bukunya menjelaskan bahwa dar al-harb dibedakan menjadi 3 kategori:
a. Negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok dar al-Islam, yaitu pemberlakuan hukum Islam dan kekuasaan politik yang berada di tangan non-muslim.
b. Negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar al-Islam, meskipun tidak utuh. Wilayahnya dikuasai non-muslim dan hukum yang berlaku bukan hukum Islam, namun umat Islam yang menetap dinegara tersebut diberi kelonggaran untuk melaksanakan sebagian hukum Islam.
c. Negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb. Wilayah ini dikuasai oleh pemerintahan non-muslim dan tidak memberlakukan hukum Islam. Penduduk Muslim yang menetap di sini tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan ajaran agamanya. Dar al-harb dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu Dar al-harb yang menjadi tempat harbiyyun dan tidak terikat perjanjian atau hubungan diplomatik dengan negara Islam; dan Dar al-Muwada’ah atau dar al-Muhadanah

C. Pembagian Penduduk
Dengan berlandaskan pada agama yang diyakini seseorang, mempertimbangkan Negara yang menjadi tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan Islam, para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang menjadi muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari ahl al-zimmi, musta’min, dan harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl al-zimmi dan musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan harbiyun.
1. Muslim
Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
Pertama mereka yang menetap di dar al-Islam dan mempunyai komitmen yang kuat untuk mempertahankan dar al-Islam. Termasuk kedalam kelompok ini adalah orang Islam yang menetap sementara waktu di dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap komitmen kepada Islam serta mengakui pemerintahan Islam.
Kedua, muslim yang tinggal menetap di dar al-harb dan tidak berkeinginan untuk hijrah ke dar al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, SYafi’i dan Ahmad, sama dengan muslim lainnya di dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai Islam. Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin.
2. Ahl al-Zimmi
Kata dzimmah berarti perjanjian, atau jaminan dan keamanan. Disebut demikian karena mereka mempunyai jaminan perjanjian (‘ahd) Allah dan Rasul-Nya, serta jamaah kaum Muslim untuk hidup dengan rasa aman di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Mereka (orang-orang kafir ini) berada dalam jaminan keamanan kaum Muslim berdasarkan akad dzimmah.
Implikasinya adalah, mereka termasuk ke dalam warga negara Darul Islam. Akad dzimmah mengandung ketentuan untuk membiarkan orang-orang non muslim tetap berada dalam keyakinan/agama mereka, disamping menikmati hak untuk memperoleh jaminan keamanan dan perhatian kaum Muslim. Syaratnya adalah mereka membayar jizyah serta tetap berpegang teguh terhadap hukum-hukum Islam di dalam persoalan-persoalan publik. Landasan adanya penarikan jizyah dari ahl al-zimmi yaitu dalam Surat At Taubah ayat 29.
Unsur-unsur seseorang dikatakan ahl al-zimmi yaitu: Non-muslim, baligh, berakal, laki-laki, bukan budak, tinggal di dar al-Islam dan mampu membayar jizyah.
Yang dikatakan non-muslim adalah ahl al-Kitab, murtad, dan orang musyrik.
a. Sebagaimana pendapat Abu Bakar ibnu Ali al-Jashshash yang dikutip oleh Dr. Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, ahl al-Kitab yang tergolong ahl al-zimmi yaitu Yahudi dan Nasrani, serta Majusi.
b. Mayoritas ulama sepakat mengenai ketidakbolehan orang-orang murtad melakukan akad zimmah dengan pemerintahan Islam, berdasarkan firman Allah QS. Al-Fath, 48:16, yang artinya: Kamu perangi mereka, atau mereka sendiri menyerah masuk Islam.
c. Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menerima orang musyrik sebagai ahl al-zimmi. Mazhab Syafi’i, Hambali, Zahiri, dan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa pemerintahan Islam tidak boleh menerima orang musyrik yang bukan ahl al-Kitab sebagai ahl al-zimmi dan memungut jizyah mereka. Mereka berlandaskan pada QS. Al-Taubah, 9:5: Perangilah orang-orang musyrik dimana pun kamu bertemu dengan mereka. Sedangkan Imam Malik, al-Auza’i dan Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa jizyah boleh diambil dari orang non-muslim mana pun, tanpa memandang mereka sebagai ahl al-Kitab atau bukan.
3. Musta’min
Menurut Ahli Fiqih, musta’min adalah orang yang memasuki wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah setempat, baik ia muslim maupun harbiyun. Menurut al-Dasuki yang dikutip oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, antara musta’min dan mu’ahid mempunyai pengertian sama. Mu’ahid adalah orang non muslim yang memasuki wilayah Dar al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke wilayah Dar al-Harb.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai masa berlakunya perjanjian jaminan keamanan bagi musta’min. Menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh melebihi empat bulan. Menurut Mazhab Maliki yaitu jika perjanjian tersebut tidak dibatasi oleh waktu, maka dalam waktu empat bulan berakhir dengan sendirinya. Sedangkan jika dibatasi oleh waktu, maka perjanjian berakhir sesuai kesepakatan. Menurut Mazhab Hanafi dan Syi’ah Zaidiyah, maksimal selama satu tahun. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal menentukan paling lama, yaitu empat tahun.
4. Harbiyun
Kafir Harbi adalah setiap orang kafir yang tidak tercakup di dalam perjanjian (dzimmah) kaum Muslim, baik orang itu kafir mu’ahid atau musta’min, atau pun bukan kafir mu’ahid dan kafir musta’min.
Ditinjau dari aspek hukum, kafir harbi dibagi menjadi dua, yaitu (1) kafir harbi hukman, artinya secara de jure (secara hukum) kafir harbi, dan (2) kafir harbi fi’lan atau kafir harbi haqiqatan (de facto) yakni orang-orang kafir yang tengah berperang/memerangi kaum Muslim.
















BAB III
KESIMPULAN
1. Siyasah Dauliyah bermakna: kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial, nasionalitas, ektradisi, tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishash. Dasar-dasar Siyasah Dauliyah, diantaranya adalah: kesatuan umat manusia, al-‘adalah, musawah, karomah insaniyah, tasamuh, kerja sama kemanusiaan, hurriyah, dan akhlakul karimah.
Hubungan Internasional dibagi menjadi dua yaitu hubungan Internasional dalam waktu damai dan hubungan internasional dalam waktu perang.
2. Jumhur ulama’ membagi negara menjadi dua, yaitu dar al-Islam dan dar al-harb.
Berdasarkan tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk menetap di wilayah Dar al-Islam, maka dar al-Islam terbagi dalam 3 bagian, yaitu: tanah suci, wilayah Hijaz, dan selain keduanya. Sedangkan dar al-harb dibedakan menjadi 3, yaitu: negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok dar al-Islam, negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar al-Islam, dan negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb.
3. Berdasarkan agama yang diyakini seseorang, Negara yang menjadi tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan Islam, maka para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang menjadi muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari ahl al-zimmi, musta’min, dan harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl al-zimmi dan musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan harbiyun.




DAFTAR PUSTAKA

H.A. Djazuli. 2009. Fiqh Siyasah implementasi kemaslahatan umat dalam rambu-rambu syariah. Jakarta: Kencana.
http://rasyidbungadakwah.blogspot.com/2010/03/pulau-gebe-kab-halmahera-tengah.html, diakses pada tanggal 31 Mei 2011
http://zahratunisa.blogspot.com/2010/05/fiqh-siyasah.html, diakses pada tanggal 28 Juni 2011
Imam al-Mawardi. 2006. Al-Ahkam al-Shulthaniyyah, Penerjemah: Fadli Bahri. Jakarta: Darul Falah.
J. Suyuthi Pulungan. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah Dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad Iqbal. 2007. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

FIQIH DAULIYAH DAN RUANG LINGKUPNYA, PEMBAGIAN NEGARA DAN PEMBAGIAN PENDUDUK

FIQIH DAULIYAH DAN RUANG LINGKUPNYA, PEMBAGIAN NEGARA DAN PEMBAGIAN PENDUDUK

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
"Hukum Tata Negara Islam"





Oleh :
Muhammad Abdul Ghofur C51208033
Nurkhairani C51208041
Siti Nurhasanah .S. C51208047

Dosen Pembimbing :
Nur Lailatul Musyafa’ah, Lc, MHI.


JURUSAN AKHWALUS SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak. Kemuliaan akhlak ini haruslah tecermin dalam berbagai segi kehidupan untuk mewujudkan bahwa manusia adalah makhluk yang beradab dan memiliki aturan yang berbeda dengan makhluk lain. Oleh sebab itu, dalam Islam diatur pula hubungan antara sesama manusia khususnya atau dalam lingkup paling besar hubungan antar Negara.
Sebagaimana diketahui bahwa syarat terbentuknya suatu Negara diantaranya adalah ada suatu wilayah, penduduk/masyarakat, dan ada pemerintahan yang berdaulat. Berbedanya wilayah dan penduduk yang mendiami, membuat perbedaan pula karakter suatu Negara, sehingga adanya suatu pembagian-pembagian mengenai Negara.
Tidak hanya itu, kemajemukan penduduk suatu Negara membuat adanya suatu pembedaan dengan dilihat dari berbagai faktor. Dalam Islam perbedaan penduduk ini bisa dilihat dari agama yang dianutnya maupun wilayah tempat ia berdomisili. Akibat dari suatu pembedaan ini, berbeda pula hak maupun kewajiban yang akan diterima.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Siyasah Dauliyah?
2. Apa saja ruang lingkup Siyasah Dauliyah?
3. Bagaimana pembagian Negara dalam Islam?
4. Bagaimana pembagian penduduk dalam Islam?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian Siyasah Dauliyah.
2. Memahami ruang lingkup Siyasah Dauliyah.
3. Mengetahui pembagian Negara dalam Islam.
4. Mengetahui pembagian penduduk dalam Islam.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembagian Fiqih Siyasah Dauliyah dan Ruang Lingkupnya
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial, nasionalitas, ektradisi, tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishash. Atau dapat dikatakan yang mengatur hubungan antar Negara tersebut (Politik Hukum Internasional).
Dasar-dasar Siyasah Dauliyah, diantaranya sebagai berikut:
1. Kesatuan Umat Manusia
Meskipun manusia ini berbeda suku berbangsa-bangsa, berbeda warna kulit, berbeda tanah air bahkan berbeda agama, akan tetapi merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama makhluk Allah, sama bertempat tinggal di muka bumi ini, sama-sama mengharapkan hidup bahagia dan damai dan sama-sama dari Adam. Dengan demikian, maka perbedaan-perbedaan diantara manusia harus disikapi dengan pikiran yang positif untuk saling memberikan kelebihan masing-masing dan saling menutupi kekurangan masing-masing.
2. Al-‘Adalah (Keadilan)
Ajaran islam mewajibkan penegakan keadilan baik terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga, bahkan terhadap musuh sekalipun kita wajib bertindak adil. Banyak ayat-ayat yang berbicara tentang keadilan antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
Artinya:Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu
3. Al-Musawah (Persamaan)
Manusia memiliki hal-hal kemanusiaan yang sama, untuk mewujudkan keadilan adalah mutlak mempersamakan manusia dihadapan hukum. Demikian pula setiap manusia adalah subyek hukum, penanggung hak dan kewajiban yang sama.
4. Karomah Insaniyah (Kehormatan Manusia)
Karena kehormatan manusia inilah, maka manusia tidak boleh merendahkan manusia lainnya. Kehormatan manusia berkembang menjadi kehormatan terhadap satu kaum atau komunitas dan bisa dikembangkan menjadi suatu kehormatan suatu bangsa atau negara.
5. Tasamuh (Toleransi)
Allah mewajibkan menolak permusuhan dengan tindakan yang lebih baik, penolakan dengan lebih baik ini akan menimbulkan persahabatan bila dilakukan pada tempatnya setidaknya akan menetralisir ketegangan.
6. Kerja Sama Kemanusiaan
Kerjasama kemanusiaan ini adalah realisasi dari dasar-dasar yang telah dikemukakan di atas, kerja sama di sini adalah kerja sama di setiap wilayah dan lingkungan kemanusiaan. Kerja sama ini diperlukan karena ada saling ketergantungan baik antara individu maupun antara negara di dunia ini.


7. Kebebasan, Kemerdekaan/Al-Huriyah
Kemerdekaan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri dari pengaruh hawa nafsu serta mengendalikan dibawah bimbingan keimanan dan akal sehat. Dengan demikian, kebebasan bukanlah kebebasan mutlak, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab terhadap Allah, terhadap keselamatan hidup manusia di muka bumi, kebebasan bisa diperinci seperti kebebasan berfikir, kebebasan baragama, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan menuntut ilmu, kebebasan memiliki harta.
8. Perilaku Moral yang Baik (Al-Akhlakul Karimah)
Prilaku yang baik merupakan dasar moral di dalam hubungan antara manusia, antara umat dan antara bangsa di dunia ini selain itu prinsip ini juga diterapkan terhadap seluruh makhluk Allah di muka bumi termasuk flora dan fauna.

1. Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Damai
Damai adalah asas hubungan Internasional. Selain kewajiban suatu negara terhadap negara lain, yakni tentang menghormati hak-hak negara lain yang bertetangga dengan negara yang ditempati dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional.
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa hukum asal hubungan Internasional ada dua pendapat, pendapat yang pertama mengacu pada ayat-ayat perang (al-Baqarah:216, an-Nisa`:74, al-Anfal:65, at-Taubah:29), dan sabda Nabi: saya diperintahkan untuk memeragi manusia sampai merreka mengucapkan syahadat, melaksanakan sholat, dan mengeluarkan zakat. Kesimpulan dari kelompok pertama adalah inti hukum asal dalam hubungan internasional adalah perang.
Pendapat yang ke dua adalah sebaliknya bahwa hukum asal dalam hubungan internasional adalah adalah damai. Alasannya perang itu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak kedzaliman, menghindari fitnah dalam rangka mempertahankan diri sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran. Adapun hadits nabi di atas menurut kelompok ini, berlaku bagi orang atau kelompok yang merasuki atau memerangi islam untuk menolak kdzaliman mereka. Selain itu, pemaksaan di dalam memeluk agama pun tidak diperkanankan.

2. Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Perang
Sebab terjadinya perang:
a. Mempertahankan Diri
Dari kitab-kitab sejarah tarikh, cara Nabi Mohammad saw menhimpun kekuatan dan mempertahankan negeri madinah dari serangan-serangan musuhnya orang kafir kuraisy. Dalam perang badar, bukan Nabi yang menyerang akan tetapi mush nabi yang menyerang ka Madinah. Adapan waktu fathu Makkah, rasulullah datang ke Makkah bukan sebagai perang atau penakluk, meainkan sebagai pemberi amnesti umum disertai tetap menghormati harga diri tokoh-tokoh mekkah, seperti Abu Sofyan yang pada waktu itu masih kafir.
b. Dalam Rangka Dakwah
Perang juga bisa terjadi di dalam rangka menjamin jalannya dakwah. Artinya, dakwah kepada kebenaran dan keadilan serta pada prinsip-prinsip yang mulia tidak boleh dihalangi dan ditindas oleh penguasa manapun. Telah dijelaskan bahwa Islam tidak menghendaki pemaksaan beragama. Apabila penguasa memaksakan agamanya dan menindas kepada orang-orang muslim, penguasa-penguasa itu dikualifikasikan kepada penguasa yang dzalim. Prilaku seperti itulah yang dipertontonkan oleh penguasa Persia dan Romawi pada waktu itu yaitu tidak memberikan kebebasan kapada rakyatnya untuk memeluk agama yang diyakininya.
c. Etika dan Aturan Perang di dalam Siyasah Dauliyah
1) Dilarang membunuh anak.
2) Dilarang membunuh wanita yang tidak berperang.
3) Dilarang membunuh orang tua yang tidak ikut perang.
4) Tidak memotong dan merusak tanaman, sawah dan ladang.
5) Tidak membunuh binatang ternak
6) Tidak menghancurkan tempat ibadah.
7) Dilarang mencincang mayat musuh.
8) Dilarang membunuh pendeta dan pekerja.
9) Bersikap sabar, berani dan ikhlas.
10) Tidak melampaui batas.

B. Pembagian Negara Islam
Jumhur ulama membagi negara kepada dua bagian, yaitu dar al-Islam/ dar al-waqf (Syiah Zaidiyah)/ dar al-tauhid (Khawarij sekte Ibadiyah ) dan dar al-harb/ dar al-fasiq (Syiah Zaidiyah)/ dar al-syirk (Khawarij sekte Ibadiyah). Sementara ulama Syafi’iyah menambahkan kategori dar al-‘ahd atau dar al-aman disamping keduanya. Dar al-‘ahd adalah negara-negara yang berdamai dengan dar al-Islam, dengan peranjian tersebut, maka semua penduduk dar al-‘ahd tidak boleh diganggu jiwanya, hartanya, dan kehormatan kemanusiaannnya. Meskipun penduduknya tidak beragaa Islam, mereka diperlakukan seperti orang Islam dalam arti dilindungi hak-haknya.
Sedangkan menurut A. Djazuli, pembagian dunia pada masa sekarang adalah:
1. Al-Alam al-Islami (dunia Islam) yang terdiri dari:
a. Dawlah Islamiyah (negara Islam/Islamic States).
b. Baldah Islamiyah (negeri muslim/negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam/Muslim Countries).
2. Al-Alam al-‘Ahd: negara-negara yang berdamai dengan negara Islam.

1. Kriteria Dar al-Islam
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan identitas suatu negara apakah termasuk dar al-Islam. Diantara mereka ada yang melihat dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut. Ada pula yang memandang dari sisi keamanan warganya menjalankan syari’at Islam. Semantara ada juga yang melihat dari sisi pemegang kekuasaan tersebut.
a. Dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut
Imam Abu Yusuf, tokoh terbesar madzhab Hanafi berpendapat bahwa suatu negara disebut dar al-Islam bila berlaku hukum Islam di dalamnya, meskipun mayoritas warganya tidak muslim. Sementara dar al-harb, menurutnya adalah negara yang tidak meberlakukan hukum Islam, meskipun sebagian besar penduduknya beragama Islam.
Dalam pemikiran modern, pandangan demikian dianut oleh Sayyid Quthb. Ia memandang bahwa negara yang menerapkan hukum islam adalah dar al-Islam, tanpa mensyaratkan penduduknya harus muslim. Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang mensyaratkan penduduknya harus mayoritas muslim.
b. Dari sisi keamanan warganya menjalankan syariat Islam
Imam Abu Hanifah membedakan dar al-Islam dan dar al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati penduduknya. Bila umat Islam merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaan mereka, maka negara tersebut termasuk dar al-Islam. Sebaliknya, bila tidak ada rasa aman, maka negara tersebut termasuk dar al-harb.
c. Dari sisi pemegang kekuasaan negara tersebut
Menurut al-Rafi’i (salah seorang tokoh madzhab Syafi’i), suatu negara dipandang sebagai dar al-Islam apabila dipimpin oleh seorang muslim.
Menurut Javid Iqbal, dar al-Islam adalah negara yang pemerintahannya dipegang umat Islam, mayoritas penduduknya beragama Islam dan menggunakan hukum Islam sebagai undang-undangnya. Karena kekuasaan mutlak berada pada Allah, maka dar al-Islam harus menjunjung tinggi supremasi hukum Islam; selanjutnya, karena masyarakat muslim harus diperintah menurut hukum Islam, maka pemimpin pemerintahannya juga harus muslim agar mereka dapat melaksanakan hukum Islam.
Dalam perkembangan dunia modern, kriteria ini telah bergeser. Suatu negara disebut dar al-Islam bila penduduknya mayoritas beragama Islam, meskipun negara tersebut tidak sepenuhnya menjalankan hukum Islam contohnya Indonesia dan Mesir. Di samping itu, kriteria penerapan hukum Islam dalam suatu negara tentu merupakan hal terpenting dalam menentukan suatu negara disebut dar al-Islam, meskipun tidak sepenuhnya penduduknya beragama Islam, contohnya Iran, Malaysia, dan Pakistan. Kedua kriteria inilah yang digunakan oleh Organisasi Konperensi Islam (OKI) dalam menetapkan hukum Islam.
2. Pembagian Dar al-Islam
Berdasarkan tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk menetap di wilayah Dar al-Islam, maka dar al-Islam terbagi dalam 3 bagian, yaitu: tanah suci, Hijaz, dan selain keduanya.
a. Tanah suci (Kota Mekah dan wilayah sekitarnya).
Menurut jumhur ulama kota Madinah termasuk dalam wilayah ini. Di kedua wilayah ini non-muslim tidak boleh menetap. Bahkan untuk kota Mekah, di sekitar al-Masjid al-Haram, non-muslim sama sekali tidak boleh memasukinya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, kafir dzimmi dan kafir mu’ahid boleh memasuki Makkah tidak untuk menetap di dalamnya.
b. Wilayah Hijaz
Wilayah ini boleh dimasuki non-muslim dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintahan Islam. Tetapi mereka tidak boleh menetap di wilayah ini melebihi 3 hari. Ketentuan ini berdasarkan keputusan Khalifah ‘Umar bin Khaththab yang mengijinkan orang-orang Yahudi tinggal di Hijaz selama 3 hari untuk urusan dagang. Dalam al-Ahkam al-Shulthaniyah dijelaskan bahwa jika mereka bertempat tinggal di salah satu tempat di Hijaz lebih dari 3 hari, maka mereka dikenakan ta’zir jika mereka tidak diberi izin sebelumnya.
c. Wilayah dan negara-negara Islam lainnya
Di wilayah ini, pemerintah Islam boleh melakukan akad dzimmah dengan non-muslim. Mereka boleh masuk dan menetap di wilayah ini untuk sementara waktu berdasarkan perjanjian yang disetujui kedua belah pihak.

3. Pembagian Dar al-Harb
Muhammad Iqbal dalam bukunya menjelaskan bahwa dar al-harb dibedakan menjadi 3 kategori:
a. Negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok dar al-Islam, yaitu pemberlakuan hukum Islam dan kekuasaan politik yang berada di tangan non-muslim.
b. Negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar al-Islam, meskipun tidak utuh. Wilayahnya dikuasai non-muslim dan hukum yang berlaku bukan hukum Islam, namun umat Islam yang menetap dinegara tersebut diberi kelonggaran untuk melaksanakan sebagian hukum Islam.
c. Negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb. Wilayah ini dikuasai oleh pemerintahan non-muslim dan tidak memberlakukan hukum Islam. Penduduk Muslim yang menetap di sini tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan ajaran agamanya. Dar al-harb dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu Dar al-harb yang menjadi tempat harbiyyun dan tidak terikat perjanjian atau hubungan diplomatik dengan negara Islam; dan Dar al-Muwada’ah atau dar al-Muhadanah

C. Pembagian Penduduk
Dengan berlandaskan pada agama yang diyakini seseorang, mempertimbangkan Negara yang menjadi tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan Islam, para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang menjadi muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari ahl al-zimmi, musta’min, dan harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl al-zimmi dan musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan harbiyun.
1. Muslim
Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
Pertama mereka yang menetap di dar al-Islam dan mempunyai komitmen yang kuat untuk mempertahankan dar al-Islam. Termasuk kedalam kelompok ini adalah orang Islam yang menetap sementara waktu di dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap komitmen kepada Islam serta mengakui pemerintahan Islam.
Kedua, muslim yang tinggal menetap di dar al-harb dan tidak berkeinginan untuk hijrah ke dar al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, SYafi’i dan Ahmad, sama dengan muslim lainnya di dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai Islam. Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin.
2. Ahl al-Zimmi
Kata dzimmah berarti perjanjian, atau jaminan dan keamanan. Disebut demikian karena mereka mempunyai jaminan perjanjian (‘ahd) Allah dan Rasul-Nya, serta jamaah kaum Muslim untuk hidup dengan rasa aman di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Mereka (orang-orang kafir ini) berada dalam jaminan keamanan kaum Muslim berdasarkan akad dzimmah.
Implikasinya adalah, mereka termasuk ke dalam warga negara Darul Islam. Akad dzimmah mengandung ketentuan untuk membiarkan orang-orang non muslim tetap berada dalam keyakinan/agama mereka, disamping menikmati hak untuk memperoleh jaminan keamanan dan perhatian kaum Muslim. Syaratnya adalah mereka membayar jizyah serta tetap berpegang teguh terhadap hukum-hukum Islam di dalam persoalan-persoalan publik. Landasan adanya penarikan jizyah dari ahl al-zimmi yaitu dalam Surat At Taubah ayat 29.
Unsur-unsur seseorang dikatakan ahl al-zimmi yaitu: Non-muslim, baligh, berakal, laki-laki, bukan budak, tinggal di dar al-Islam dan mampu membayar jizyah.
Yang dikatakan non-muslim adalah ahl al-Kitab, murtad, dan orang musyrik.
a. Sebagaimana pendapat Abu Bakar ibnu Ali al-Jashshash yang dikutip oleh Dr. Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, ahl al-Kitab yang tergolong ahl al-zimmi yaitu Yahudi dan Nasrani, serta Majusi.
b. Mayoritas ulama sepakat mengenai ketidakbolehan orang-orang murtad melakukan akad zimmah dengan pemerintahan Islam, berdasarkan firman Allah QS. Al-Fath, 48:16, yang artinya: Kamu perangi mereka, atau mereka sendiri menyerah masuk Islam.
c. Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menerima orang musyrik sebagai ahl al-zimmi. Mazhab Syafi’i, Hambali, Zahiri, dan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa pemerintahan Islam tidak boleh menerima orang musyrik yang bukan ahl al-Kitab sebagai ahl al-zimmi dan memungut jizyah mereka. Mereka berlandaskan pada QS. Al-Taubah, 9:5: Perangilah orang-orang musyrik dimana pun kamu bertemu dengan mereka. Sedangkan Imam Malik, al-Auza’i dan Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa jizyah boleh diambil dari orang non-muslim mana pun, tanpa memandang mereka sebagai ahl al-Kitab atau bukan.
3. Musta’min
Menurut Ahli Fiqih, musta’min adalah orang yang memasuki wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah setempat, baik ia muslim maupun harbiyun. Menurut al-Dasuki yang dikutip oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, antara musta’min dan mu’ahid mempunyai pengertian sama. Mu’ahid adalah orang non muslim yang memasuki wilayah Dar al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke wilayah Dar al-Harb.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai masa berlakunya perjanjian jaminan keamanan bagi musta’min. Menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh melebihi empat bulan. Menurut Mazhab Maliki yaitu jika perjanjian tersebut tidak dibatasi oleh waktu, maka dalam waktu empat bulan berakhir dengan sendirinya. Sedangkan jika dibatasi oleh waktu, maka perjanjian berakhir sesuai kesepakatan. Menurut Mazhab Hanafi dan Syi’ah Zaidiyah, maksimal selama satu tahun. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal menentukan paling lama, yaitu empat tahun.
4. Harbiyun
Kafir Harbi adalah setiap orang kafir yang tidak tercakup di dalam perjanjian (dzimmah) kaum Muslim, baik orang itu kafir mu’ahid atau musta’min, atau pun bukan kafir mu’ahid dan kafir musta’min.
Ditinjau dari aspek hukum, kafir harbi dibagi menjadi dua, yaitu (1) kafir harbi hukman, artinya secara de jure (secara hukum) kafir harbi, dan (2) kafir harbi fi’lan atau kafir harbi haqiqatan (de facto) yakni orang-orang kafir yang tengah berperang/memerangi kaum Muslim.
















BAB III
KESIMPULAN
1. Siyasah Dauliyah bermakna: kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial, nasionalitas, ektradisi, tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishash. Dasar-dasar Siyasah Dauliyah, diantaranya adalah: kesatuan umat manusia, al-‘adalah, musawah, karomah insaniyah, tasamuh, kerja sama kemanusiaan, hurriyah, dan akhlakul karimah.
Hubungan Internasional dibagi menjadi dua yaitu hubungan Internasional dalam waktu damai dan hubungan internasional dalam waktu perang.
2. Jumhur ulama’ membagi negara menjadi dua, yaitu dar al-Islam dan dar al-harb.
Berdasarkan tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk menetap di wilayah Dar al-Islam, maka dar al-Islam terbagi dalam 3 bagian, yaitu: tanah suci, wilayah Hijaz, dan selain keduanya. Sedangkan dar al-harb dibedakan menjadi 3, yaitu: negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok dar al-Islam, negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar al-Islam, dan negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb.
3. Berdasarkan agama yang diyakini seseorang, Negara yang menjadi tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan Islam, maka para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang menjadi muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari ahl al-zimmi, musta’min, dan harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl al-zimmi dan musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan harbiyun.




DAFTAR PUSTAKA

H.A. Djazuli. 2009. Fiqh Siyasah implementasi kemaslahatan umat dalam rambu-rambu syariah. Jakarta: Kencana.
http://rasyidbungadakwah.blogspot.com/2010/03/pulau-gebe-kab-halmahera-tengah.html, diakses pada tanggal 31 Mei 2011
http://zahratunisa.blogspot.com/2010/05/fiqh-siyasah.html, diakses pada tanggal 28 Juni 2011
Imam al-Mawardi. 2006. Al-Ahkam al-Shulthaniyyah, Penerjemah: Fadli Bahri. Jakarta: Darul Falah.
J. Suyuthi Pulungan. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah Dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad Iqbal. 2007. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Proses Peradilan Militer

Peradilan Militer merupakan pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara.
Alasan adanya pengadilan militer :
1. aturan mengenai peradilan militer sudah tidak sesuai dengan UU kekuasaan kehakiman
2. peradilan militer merupakan pelaksana kekuasana kehakiman dilingkungan angkatan militer ( psl 8 UU No 31/97 )
Adapun proses peradilan pidana militer
1. Penyidikan
Yaitu terdiri dari atasan yang Berhak Menghukum, Polisi Militer, dan Oditur (pasal 69 UU No 31/1997). Seorang Penyidik berwenang melakukan penangkapan. Penangkapan terhadap Tersangka di luar tempat kedudukan Atasan yang Berhak Menghukum yang langsung membawahkannya dapat dilakukan oleh penyidik setempat di tempat Tersangka ditemukan, berdasarkan permintaan dari Penyidik yang menangani perkaranya. Pelaksanaan penangkapan dilakukan dengan surat perintah (pasal 75 UU No 31/1997)
Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah, penggeledahan pakaian, atau penggeledahan badan dan penyitaan. Pelaksanaan penyitaan dilakukan dengan surat perintah.
Dalam penyelidikan, Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau jawatan atau pengangkutan apabila benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa (pasal 96 UU No 31/1997)
2. Penyerahan Perkara
Perwira yang menyerahkan perkara adalah Panglima, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Panglima selaku Perwira Penyerah Perkara tertinggi melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan wewenang penyerahan perkara oleh Perwira Penyerah Perkara lainnya. Berdasarkan pendapat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1), Perwira Penyerah Perkara mengeluarkan:
a. Surat Keputusan Penyerahan Perkara;
b. Surat Keputusan tentang Penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit; atau
c. Surat Keputusan Penutupan Perkara demi kepentingan hukum.
3. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
a. Persiapan Persidangan
Dilakukan sesudah Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi menerima pelimpahan berkas perkara dari Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi, Kepala Pengadilan Militer/Kepala Pengadilan Militer Tinggi segera mempelajarinya, apakah perkara itu termasuk wewenang Pengadilan yang dipimpinnya.
b. Penahanan
Dalam pemeriksaan sidang tingkat pertama pada Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi, Hakim Ketua berwenang:
1) Apabila Terdakwa berada dalam tahanan sementara, wajib menetapkan apakah Terdakwa tetap ditahan atau dikeluarkan dari tahanan sementara;
2) Guna kepentingan pemeriksaan, mengeluarkan perintah untuk menahan Terdakwa paling lama 30 ( tiga puluh) hari.
c. Pemanggilan
Oditur mengeluarkan surat panggilan kepada Terdakwa dan Saksi yang memuat hari, tanggal, waktu, tempat sidang, dan untuk perkara apa mereka dipanggil. Surat panggilan harus sudah diterima oleh Terdakwa atau Saksi paling lambat 3 (tiga) hari sebelum sidang dimulai. Apabila yang dipanggil di luar negeri, pemanggilan dilakukan melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat orang yang dipanggil itu biasa berdiam.
d. Pemeriksaan dan Pembuktian
Dalam pemeriksaan Terdakwa yang tidak ditahan dan tidak hadir pada hari sidang yang sudah ditetapkan, Hakim Ketua meneliti apakah Terdakwa sudah dipanggil secara sah. Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, Hakim Ketua menunda persidangan dan memerintahkan supaya Terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya. Terdakwa ternyata sudah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, Hakim Ketua memerintahkan supaya Terdakwa dihadirkan secara paksa pada sidang berikutnya.
Apabila Terdakwa lebih dari 1 (satu) orang dan tidak semua hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap yang hadir dapat dilangsungkan. Panitera mencatat laporan dari Oditur mengenai pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) kemudian menyampaikannya kepada Hakim Ketua (UU No. 31 tahun 1997 pasal 142)
Pemeriksaan Terdakwa :
1) Pemeriksaan Terdakwa dimulai setelah semua Saksi selesai didengar keterangannya.
2) Apabila dalam suatu perkara terdapat lebih dari seorang Terdakwa maka Hakim Ketua dapat mengaturnya menurut cara yang dipandangnya baik, yaitu :
a) Memeriksa Terdakwa seorang demi seorang dengan dihadiri oleh Terdakwa lainnya,
b) Memeriksa seorang Terdakwa tanpa dihadiri Terdakwa lainnya, Terdakwa yang tidak sedang didengar keterangannya diperintahkan untuk dibawa keluar sidang.
3) Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa segala hal yang dipandang perlu untuk memperoleh kebenaran materiil.
4) Setelah Hakim Ketua selesai mengajukan pertanyaan-pertanyaan, ia memberikan kesem-patan kepada Hakim-Hakim Anggota, Oditur Penuntut Umum dan Penasihat Hukum secara berturut-turut untuk mengajukan pertanyaan kepada Terdakwa.
5) Hakim Ketua menjaga supaya tidak diajukan pertanyaan yang tidak dibenarkan kepada Terdakwa seperti:
a) Pertanyaan yang menjerat ;
b) Pertanyaan yang bersifat sugestif ;
c) Pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan perkara yang bersangkutan.
d) Pertanyaan yang tidak patut.
Pemeriksaan barang bukti :
1. Setelah pemeriksaan semuai Saksi dan Terdakwa selesai, Hakim Ketua memperlihatkan kepada Terdakwa semua barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu serta menanyakan sangkut paut benda itu dengan perkara untuk memperoleh kejelasan tentang peristiwanya.
2. Bila dipandang perlu barang bukti dapat juga diperlihatkan sebelum pemeriksaan semua Saksi dan Terdakwa selesai.
3. Jika ada sangkut pautnya dengan Saksi tertentu, barang bukti itu diperlihatkan juga kepada Saksi yang bersangkutan.
Berkenaan dengan alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. keterangan terdakwa;
d. surat; dan
e. petunjuk.
Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
e. Penuntutan dan Pembelaan
Sesudah pemeriksaan dinyatakan selesai, Oditur mengajukan tuntutan pidana.
f. Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Rugi
Apabila suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi menimbulkan kerugian bagi orang lain, Hakim Ketua atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkargugatan ganti rugi k epada perkara pidana itu.
g. Musyawarah dan Putusan
Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (5), Hakim mengadakan musyawarah secara tertutup dan rahasia. Pelaksanaan musayawarah didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
Pada dasarnya putusan dalam musyawarah Majelis Hakim merupakan hasil permufakatan secara bulat. Dalam pelaksanaan musyawarah Majelis Hakim, Hakim Anggota yang termuda (dalam kepangkatan) memberikan pandangan, pendapat dan saran urutan pertama disusul oleh Hakim Anggota yang lain, dan Hakim Ketua memberikan pandangan, pendapat dan saran urutan terakhir. Pelaksanaan pengambilan putusan dalam musyawarah Majelis Hakim dicatat dalam Buku Himpunan Putusan. Apabila tidak terdapat mufakat bulat, pendapat yang berbeda dari salah seorang Hakim Majelis dicatat dalam Berita Acara Musyawarah Majelis Hakim.
B. Tata Cara Tuntutan Pidana (Requisitoir) dan Pembelaan (Pledoi):
Sebagaimana di singgung di atas dalam tuntutan dan pembelaan prosedurnya adalah sebagai berikut:
1. Tuntutan (Requisitoir), Pledooi dan duplik disiapkan dalam bentuk tertulis.
2. Apabila Hakim Ketua berpendapat bahwa pemeriksan terhadap Terdakwa, Saksi-saksi, barang-barang bukti dan alat-alat bukti lainnya telah selesai maka Hakim Ketua menyatakan pemeriksaan selesai kemudian memberi kesempatan kepada Oditur Penuntut Umum untuk membacakan tuntutannya.
3. Apabila Oditur Penuntut Umum belum siap, sidang ditunda untuk memberikan waktu kepada Oditur Penuntut Umum untuk menyusun tuntutan.
4. Oditur Penuntut Umum membacakan tuntutannya dengan sikap berdiri, kecuali jika Hakim Ketua menentukan lain. Pada waktu Oditur Penuntut Umum membacakan tuntutannya Terdakwa berdiri dengan sikap sempurna, Terdakwa berdiri dengan sikap sempurna menghadap Hakim Ketua. Setelah selesai membacakan tuntutan Oditur Penuntut Umum menyerahkan kepada Hakim Ketua, Terdakwa atau Penasihat Hukumnya masing-masing satu eksemplar.
5. Hakim Ketua memberikan kesempatan kepada Terdakwa dan atau Penasihat Hukum untuk menanggapi tuntutan Oditur. Pembelaan dapat dibacakan oleh Terdakwa dan Penasihat Hukum secara sendiri-sendiri atau hanya oleh Penasihat Hukum saja. Setelah selesai dibacakan naskah pembelaan (Pledooi) diserahkan kepada Hakim Ketua dan Oditur Penuntut Umum masing-masing satu eksemplar, pembacaan pledooi dibacakan dengan sikap berdiri, apabila dibacakan oleh Terdakwa ia berdiri di sebelah kanan kursi Penasihat Hukum.
6. Terhadap pembelaan dari Terdakwa dan atau Penasihat Hukum, Oditur Penuntut Umum dapat mengajukan jawaban (replik) selanjutnya Terdakwa atau Penasihat Hukum dapat me-ngajukan duplik.
7. Dalam hal mengajukan pidana berdasarkan asas kesatuan penuntutan terutama mengenai perkara berat, sayogyanya Oditur Penuntut Umum mengadakan konsultasi dengan Kabaotmil atau Orjen TNI sebelum tuntutan dalam sidang.

C. Putusan Pengadilan
1. Apabila Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka Pengadilan menjatuhkan pidana.
2. Apabila ternyata Terdakwa tidak terbukti bersalah sebagaimana didakwakan kepadanya, maka Pengadilan memutus bebas dari segala dakwaan. Apabila ternyata Terdakwa terbukti bersalah tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada Terdakwa, maka Pengadilan memutus lepas dari segala tuntutan hukum.
3. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Pada waktu putusan pemidanaan/pembebasan/pelepasan diucapkan, harus diikuti dengan ketukan palu satu kali.
4. Besarnya biaya perkara yang dibebankan kepada Terdakwa hendaknya memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.KMA/155/X/1981 tanggal 19 Oktober 1981.
5. Apabila Terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan kepada negara dengan kata lain Terdakwa tidak dipungut biaya perkara.
6. Dalam hal Terdakwa dan atau Oditur Penuntut Umum mengajukan permohonan banding, Panitera membuat Akte permohonan banding.
Apabila sidang Pengadilan akan ditutup karena pemeriksaan dan proses pengadilan telah selesai, Hakim Ketua mengucapkan putusan.
7. Petikan putusan diberikan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya segera setelah putusan dijatuhkan. Salinan putusan diberikan kepada Oditur sedangkan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya diberikan atas permintaan. Petikan putusan dan salinan putusan dikirimkan kepada Babinkum TNI dan Kadilmiltama pada kesempatan pertama.
8. Panitera membuat Berita Acara Sidang yang memuat segala kejadian di sidang yang ber-hubungan dengan pemeriksaan itu, juga memuat hal-hal yang penting dari keterangan Terdakwa, saksi dan ahli, kecuali jika Hakim ketua menyatakan bahwa ini cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara pemeriksaan permulaan dengan menyebutkan perbedaan yang terdapat antara yang satu dengan yang lainnya.
9. Setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, Panitera membuat Akte putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, disampaikan kepada Terdakwa dan Oditur serta yang berkepentingan. Akte tersebut dan petikan putusan merupakan dasar pelaksanaan putusan Hakim.
Pelaksanaan Putusan Pengadilan
a. Bahwa putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaannya dilakukan oleh Oditur yang untuk itu Panitera mengirimkan salinan putusan kepadanya.
b. Mendahului salinan putusan sebagaimana yang dimaksud diatas, Oditur melaksananakan putusan pengadilan berdasarkan petikan putusan.
c. Pelaksanaan pidana mati dilakukan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak dimuka umum.
d. Pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer atau ditempat lain menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
e. Dalam hal Terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana penjara atau sejenis, sebelum menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, pidana tersebut mulai dijalan kan dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu.
f. Apabila Terpidana dipecat dari dinas keprajuritan, pidana (sudah BHT) sebagaimana di-maksud diatas dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Umum.
g. Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997.