Senin, 25 April 2011

HUKUM ASURANSI


HUKUM ASURANSI
A.     Pengertian
Asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi jiwa merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran atau premi seluruh peserta asuransi.
Asuransi dipersamakan dengan akad mudharabah musyarokah, dimana beberapa orang menyerahkan modal atau premi kepada pengelola / lembaga asuransi untuk dikelolah, ketika salah satu mengalami kecelakaan maka dari hasil mudharabah tersut dibuat untuk membantu orang yang sedang mengalami musibah.
B.     Rukun Asuransi Jiwa
Adapun hal-hal yang bersangkutan dengan asuransi atau rukun-rukun yang ada pada asuransi adalah:
1.    Muammin (Tertanggung), yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda
2.    Muamman (Penanggung), Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda
3.    Premi, kewajiban tertanggung membayar sejumlah uang yang telah disepakati kepada penanggung.
4.    Ganti Rugi, ganti rugi oleh penanggung kepada tertanggung ketingga terjadi musibah berupa kecelakaan atau sampai meninggal.
5.    Evenemen, yaitu adanya kejedian/ musibah berupa kecelakaan.



C.     Hukum Asuransi
permasalahan asuransi jiwa ini tidak dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan pendapat sukar dihindari.
Sebagian ulama kontemporer seperti ayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). mengaharamkan segala bentuk macam asuransi dengan berbagai alasan:
-          Asuransi sama dengan judi
-          Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti.
-          Asuransi mengandung unsur riba/renten.
-          Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
-          Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
-          Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
-          Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
Akan tetapi tidak semua asuransi mengandung unsur-unsur yang diatas. Ada juga asuransi yang dilakukan dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah hukum syariat juga ada. Oleh karena itu sebagian Ulama membolehkan asuransi seperti Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas
Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd.
Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha).
Dalam akad asuransi ada unsur maslahat dimana keduanya saling menguntungkan, dan tidak ada yang dirugikan karena akad yang dilakukan atas dasar ta`awun dan tidak ada niat untuk menguntungkan diri sendiri, berbeda dengan judi. Melihat persoalan di atas dimana  seseorang mengansuransikan dirinya, agar ketika di waktu yang akan datang secara tidak disengaja mengalami kecelakaan dan ia tidak mempunyai uang untuk berobat maka dengan asuransi sesorarang lebih merasa aman dan tidak menggantungkan pada yang lain.
Asuransi diperbolehkan karena tidak di jelaskan dalam nash secara jelas dalam artian nash tidak melarangnya. Di dalam akad asuransi juga mengandung unsur-unsur:
1.      Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
2.      Saling menguntungkan kedua belah pihak.
3.      Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
4.      Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
5.      Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
Oleh karena itu Asuransi diperbolehkan jika dilakukan secara syar’i, dan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.      Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
2.      Objek Asuransi adalah sesuatu yang halal.
3.      Tidak mengeksploitasi/memeras (seperti menaikkan harga yang kelewat batas). (HR. Bukhari, Muttafaq 'alaih)
4.      menjunjung tinggi kesepakatan, seperti dijelaskan dalam al-Quran surah al-Maidah 1 : "Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu".Rasulullah juga menegaskan: "Umat Islam terikat dengan persyaratan mereka"(H.R. Abu Dawud)
5.       Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
6.      Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
7.      Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
8.      Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
9.      Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.

0 komentar: