Selasa, 28 Juni 2011

GADAI SYARIAH

A. Pengertian Gadai Syari’ah
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats- tsubut wa ad-dawam, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat (38) yaitu : “Setiap orang bertanggung jawab atas apa yarg telah diperbuatnya.”
Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa kata ar rahn berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan; sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Namun, pengertian gadai yang terungkap dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Karena itu, makna gadai (rahn) dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan rungguhan. Sedangkan pengertian gadai (rahn) dalam hukum Islam (syara') adalah menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.
Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan di atas, Zainuddin Ali lebih lanjut mengungkapkan pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli hukum Islam sebagai berikut:
1. Ulama syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut :
Menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayar utangnya.
2. Ulama Hanabilah mengungkapkan sebagai berikut :
Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berharga tidak sanggup membayar utangnya.
3. Ulama Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut :
Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
4. Ahmad Azhar Basyir
Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara' sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
5. Muhammad Syafi'i Antonio
Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhum) atas utang/lpinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam di atas, dapat diketahui bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untu mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan. Karena itu, tampak bahwa gadai syariah merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas/perhiasan/kendaraan dan/atau harta benda lainnya sebagai jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau lembaga pegadaian syariah berdasarkan hukum gadai syariah; sedangkan pihak lembaga pegadaian syariah menyerahkan uang sebagai tanda terima dengan jumlah maksimal 90% dari nilai taksir terhadap barang yang diserahkan oleh penggadai Gadai dimaksud, ditandai denga mengisi dan menandatangani Surat Bukti Gadai (Ruhn).
Jika memperhatikan pengertian gadai (rahn) di atas, maka tampak bahwa fungsi dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam uang a¬¬dalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan/atau jaminan keamanan uang yang dipinjamkan. Karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial, sehingga dalam buku fiqh mu'amalah akad ini merupakan akad tabarru’ atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan.

B. Dasar Hukum Gadai Syari’ah
Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syari’ah adalah ayat-ayat Al Qur’an, Hadits Nabi Muhammad SAW., Ijma’ ulama, dan fatwa MUI.
1. Al Qur’an
        •                            
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Syaikh Muhammad ‘Ali Sayis berpendapat bahwa ayat Al Qur’an di atas adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang.
Fungsi barang gadai (marhun) pada ayat di atas adalah untuk menjaga kepercayaan masing-masing pihak, sehingga penerima gadai (murtahin) meyakini bahwa pemberi gadai (rahin) beriktikad baik untuk mengembalikan pinjamannya (marhun bih) dengan cara menggadaikan barang atau benda yang dimilikinya (marhun), serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utangnya itu. Sekalipun ayat tersebut, secara literal mengindikasikan bahwa rahn dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan musafir. Hal ini, bukan berarti dilarang bila dilakukan oleh orang yang menetap dan/atau bermukim.
Sebab, keadaan musafir ataupun menetap bukanlah merupakan suatu persyaratan keabsahan transaksi rahn. Apalagi, terdapat sebuah hadis yang mengisahkan bahwa Rasulullah saw. menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, untuk mendapatkan makanan bagi keluarganya, pada saat beliau tidak melakukan perjalanan.
2. Hadits Nabi Muhammad
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikannya dengan besi” (HR. Muslim).
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِه
“Dari Anas: Rasulullah telah merengguhkan baju besi beliau kepada seorang yahudi di Madinah sewaktu beliau berutang gandum dari seorang yahudi untuk keluarga beliau” ( HR. Ahmad, Bukhari, Nasa’i, Ibnu Majah).
Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yang berbunyi:
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Muqatil, mengabarkan kepada kami Abdullah bin Mubark, mengabarkan kepada kami Zakariyya dari Sya’bi dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, bahwasannya beliau bersabda: Kendaraan dapat digunakan dan hewan ternak dapat pula diambil manfaatnya apabila digadaikan. Penggandai wajib memberikan nafkah dan penerima gadai boleh mendapatkan manfatnya. (HR. Al-Bukhari)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., yang berbunyi:
Barang gadai tidak boleh disembunyikan dari pemilik yang menggadaikan, baginya risiko dan hasilnya. (HR. Asy-Syafi'i dan Ad-Daruquthni).
3. Ijma
Jumhur Ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad kepada mereka.
4. Fatwa MUI
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenan gadai syariah, di antaranya dikemukakan sebagai berikut:
a. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 25/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn;
b. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas;
c. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 09/DSN-MUI/IV/2000, tentang Pembiayaan Ijaroh;
d. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 10/DSN-MUI/IV/200, tentang Wakalah;
e. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 43/DSN-MUI/VIII/2004, tentang Ganti Rugi.
1. Rukun dan Syarat Gadai Syariah
Dilihat dari rukun dan syarat syah gadai ada;ah sebagai berikut:
a. Rukun gadai antara lain:
1) Lafadz yakni pernyataan adanya perjanjian (Sighat)
2) Adanya pemberi gadai ( Rahim ) dan penerima gadai (Murtahim)
3) Adanya barang yang di gadaikan/jaminan (Marhun)
4) Adanya utang (marhun bih)
b. Sedangkan syarat sahnya antara lain.
1) Rohn dan Murtahin harus berakal dan baligh artinya cakap untuk melakukan perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syariat islam. Setipa orang yang sah melakukan jual beli sah melakukan gadai, yakni berakal dan mumaiyis, tetapi tidak disyaratkan untuk harus baligh.
2) Sighat tidak boleh terkait denagn masa yang akan datang dan syarat-syarat tertentu.
Ulama Syafi’yah berpendapat bahwa syarat dalam rahn ada tiga
a) Syarat sahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat membayar sehingga jaminan tidak disita.
b) Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermamfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminan yang diberi makanan tertentu, syarat seperti itu batal, tetapi akadnya sah.
c) Syarat yang merusak akad,seperti mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan murtahin.
3) Marhun bih/ Hutang harus merupakan hak yang wajib diberikan atau diserahkan kepada pemiliknya, memungkinkan pemanfaatannya bila sesuatu yang menjadi itu tidak bisa dimanfaatkan maka tiak sah, harus dikuantifikasikan atau dapt dihitung jumlahnya bila tidak dapat diukur atau tidak dikuantifikasi, rahn itu tidak sah.
c. Status dan Jenis Barang Gadai
1) Status Barang Gadai
Ulama fiqh menyatakan bahwa rahn baru dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan itu secara hukum sudah berada di tangan penerima gadai, dan uang yang dibutuhkan telah diterima oleh pemberi gadai.
2) Jenis Barang Gadai
Jenis barang gadai adalah barang yang dijadikan agunan oleh rahin sebagai pengikat utang, dan dipegang oleh murtahin sebagai jaminan utang. Harta yang dapat digadaikan adalah barang-barang yang memenuhi kategori:
a) Barang yang dapat dijual
b) Barang gadai harus berupa harta menurut pandangan syara’
c) Barang gadai harus diketahui
d) Barang tersebut merupakan milik rahin
2. Hak dan Kewajiban Pihak yang Berakad
a. Penerima Gadai (Murtahin)
1) Hak Penerima Gadai
a) Apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo, murtahin berhak untuk menjual marhun.
b) Untuk menjaga keselamatan marhun, pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang dikeluarkan.
c) Pemegang gadai berhak menahan barang gadai dari rahin, selama pinjaman belum dilunasin
2) Kewajiban Penerima Gadai
a) Apabila terjadi sesuatu (hilang ataupun cacat) terhadap marhun akibat dari kelalaian, maka marhun harus bertanggung jawab.
b) Tidak boleh menggunakan marhun untuk kepentingan pribadi.
c) Sebelum diadakan pelelengan marhun, harus ada pemberitahuan kepada rahin
b. Pemberi Gadai (Rahin)
1) Hak Pemberi Gadai
a) Setelah pelunasan pinjaman, rahin berhak atas barang gadai yang diserahkan kepada murtahin
b) Apabila terjadi kerusakan atau hilangnya barang gadai akibat kelalaian murtahin, rahin menuntut ganti rugi atas marhun.
c) Setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya, rahin berhak menerima sisa hasil penjualan marhun.
d) Apabila diketahui terdapat penyalahgunaan marhun oleh murtahin, maka rahin berhak untuk meminta marhunnya kembali
2) Kewajiban Pemberi Gadai
1) Melunasi pinjaman yang telah diterima serta biaya-biaya yang ada dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
2) apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi pinjamannya, maka harus merelakan penjualan atas marhun pemiliknya
3) Barang gadai (Marhun) harus bisa diperjual belikan, harus berupa harta yang bernilai, bisa dimanfaatkan secara syariah, harus diketahui keadaan fisiknya dan milik sendiri atau dapat izin dari pemiliknya.
Menurut fatwa DSN-MUI No. 25 / DSN-MUI/III/2002 gadai syariah harus memenuhi ketentuan umum sebagai berikut:
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua hutang rahn (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahn, pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahn, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahn, namun dapat dilakukanjuaga oleh murtahin¸sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahn.
4. Besar biaya pemeliharaan dan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun:
a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan Rahn untuk segera melunasi hutangnya.
b. Apabila Rahn tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun dijual paksa/ dieksekusi melalui lelang sesuat syariah.
c. Hasil penjaualan Marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahn dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahn.
Penjualan marhun harus dilakukan di depan umum dan sebelum penjualan dilakukan biasanya hal itu harus diberitahukan lebih dahulu kepada rahn.
3. Pemanfaatan Barang Gadai
Para ulama memiliki perbedaan pendapat berkenaan pemanfaatan barang gadai.
1. Ulama Syafi’iyyah
Menurut ulama’ Syafiiyyah bahwa yang mempunyai hak atas manfaat harta benda gadai adalah pemberi gadai walaupun marhun itu berada di bawah kekuasaan penerima gadai.
2. Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa penerima harta benda gadai hanya dapat memanfaatkan harta benda gadaian atas izin dari pemberi gadai dengan persyaratan sebagai berikut:
a. Utang disebabkan dari jual beli, bukan karena mengutangkan.
b. Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari harta benda gadaian diperuntukkan pada dirinya.
c. Jika waktu pengambilan manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan apabila tidak ditentukan batas waktunya maka menjadi batal
3. Ulama Hanabilah
Menurut pendapat ulama Hanabilah, persyaratan bagi murtahin untuk mengambil manfaat harta benda gadai yang berupa hewan adalah:
a. Ada izin dari pemilik barang
b. Adanya gadai bukan karena mengutangkan
4. Ulama Hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah, sesuai dengan fungsi dari barang gadai adalah sebagai jaminan dan kepercayaan bagi penerima gadai. Apabila barang itu dimanfaatkan oleh penerima gadai, maka berarti menghilangkan manfaat dari barang tersebut, padahal barang itu memerlukan pemeliharaan.

0 komentar: