Jumat, 25 November 2011

HARTA GONOGINI DAN PENYELESAIANNYA

A. Pengertian Dalam ensiklopedia hukum islam, dijelaskan bahwa harta Gono gini adalah harta bersam milik suami istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Dalam masyarakat Indonesia ini, hampir semua daerah mempunyai pengertian, bahwa harta bersama antara suami isteri memang ada dengan istilah yang berbeda untuk masing-masing daerah. Di aceh misalnya disebut dengan Heureuta sihaurekat, diminangkabau di sebut harta suorang, di daerah disebut Guna kaya, iatau raja kaya (kabupaten Sumedang), dijakarta di sebut pencaharian, di ajwa disebut barang gana atau Gono gini, di bali di sebut drubo gabro, di Kalimantan disebut berpantangan, di Sulawesi disebut (bugis dan makasar) dikenal dengan barang cakar atau Madura disebut dengan nama ghuna-ghana. Dalam UU. Perkawinan No. 1 tahun 1974 bahwa yang dimksud dengan harta gono gini atau harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Pembedaan harta bersama dengan dari harta asal memiliki nilai penting dalam perkawinan dan kewarisan. Pembedaan harta bersama dari harta asal didalam perkawinan diperlukan untuk untuk menetapkan bagian masing-masing suami-istri atas harta tersebut, sementara di dalam pewarisan diperlukan untuk menetapkan harta-harta yang dapat dikategorikan sebagai harta peninggalan. Harta bersama dapat berupa benda bergerak, benda tidak dapat bergerak dan surat-surat berharga. Sedang yang tidak berwujud bisa berupa hak dan kewajiban. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya. Suami istri, tanpa persetujuan dari salah satu pihak, tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama tersebut. Dalam hal ini, baik suami maupun istri, mempunyai pertanggungjawaban menjaga harta bersama. Dalam pertanggung jawaban utang, baik terhadap utang suami maupun istri, bis dibebankan pada hartanya masing-masing. Sedang terhadap utang yang dilakukan untuk kepantinagnkeluarga, maka dibebankan pada harta bersama. Akan tetapi, bila harta bersama tidak mencukupi, utang etrsebut dibebankan pada harta suami. Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi maka dibebankan pada harta istri. B. Harta bersama menurut fiqh Sebagaimana diketahui, harta bersama atau gono-gini yaitu harta kekayaan yang dihasilkan bersama oleh pasangan suami isteri selama terikat tali perkawinan, atau harta yang dihasilkan dari perkongsian suami isteri. Dalam kitab-kitab fiqh, perkongsian itu disebut sebagai syirkah atau syarikah. Para ulama berbeda pendapat dalam membagi macam-macam syirkah. Adapun macam-macam syirkah dinataranya yaitu: 1. Syirkah Milk ialah perkongsian antar dua orang atau lebih terhadap sesuatu tanpa adanya sesuatu aqad atau perjanjian. 2. Syirkah Uquud yaitu beberapa orang mengadakan kontrak bersama untuk mendapat sejumlah uang. Syirkah ini bermacam-macam yaitu : a. Syirkah Mufawadlah bil Amwal (perkongsian antara dua orang atau lebih tentang sesuatu macam perniagaan). b. Syirkah ‘Inan bil Amwal ialah perkongsian antara dua orang atau lebih tentang suatu macam perniagaan, atau segala macam perniagaan . c. Syirkatul ‘Abdan Mufawadlah yaitu perkongsian yang bermodal tenaga. d. Syirkatul ‘Abdan ‘Inan ialah kalau perkongsian tenaga tadi disyaratkan perbedaan tenaga kerja dan perbedaan tentang upah. e. Syirkatul Wujuh ‘Inan yaitu perkongsian kepercayaan tanpa syarat. Syirkah ‘Inan disepakati oleh ulama tentang bolehnya, sedangkan syirkah mufawadlah hukumnya boleh menurut mazhab Hanafi, Maliki, Hambali. Tetapimenurut madzhab Syafi’i tidak boleh. Abu Hanifah mensyaratkan sama banyak modal antara masing-masing peserta perkongsian. Untuk Syirkah Abdan boleh menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, dan tidak boleh menurut madzhab Syafi’i. Bedanya Imam Malik mensyaratkan pekerjaan yang mereka kerjakan harus sejenis dan setempat. Syirkah wujuh boleh menurut Ulama Hanafiah dan Ulama Hanabilah dan menurut Imam Maliki dan Syafi’i tidak boleh. Dari macam-macam syirkah serta adanya perbedaan pendapat dari para Imam madzhab dan melihat praktek gono-gini dalam masyarakat Indonesia dapat disimpulkan bahwa harta gono gini termasuk dalam syirkah abdan / mufawadlah. Praktek gono-gini dikatakan syirkah abdan karena kenyataan bahwa sebagian besar dari suami isteri dalam masyarakat Indonesia samasama bekerja membanting tulang berusaha mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari-hari dan sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka, kalau keadaan memungkinkan juga untuk meninggalkan kepada anak-anak mereka sesudah mereka meninggal dunia. Suami isteri di Indonesia samasama bekerja mencari nafkah hidup. Selanjutnya dikatakan syirkah mufawadah karena memang perkongsian suami isteri itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan mereka termasuk harta bersama, kecuali yang mereka terima sebagai warisan atau pemberian khusus untuk salah seorang diantara mereka berdua. Hukum Qur’an tidak ada memerintahkan dan tidak pula melarang harta bersama itu dipisahkan atau dipersatukan. Jadi, dalam hal ini hokum Qur’an memberi kesempatan kepada masyarakat manusia itu sendiri untuk mengaturnya. Apakah peraturan itu akan berlaku untuk seluruh masyarakat atau hanya sebagai perjanjian saja antara dua orang bakal suami isteri sebelum diadakan perkawinan. Tentu saja isi dan maksud peraturan atau perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan Qur’an dan Hadits. Masalah harta bersama ini merupakan masalah Ijtihadiyah karena belum ada pada saat madzhab-madzhab terbentuk. Berbagai sikap dalam menghadapi tantangan ini telah dilontarkan. Satu pihak berpegang pada tradisi dan penafsiran ulama mujtahid terdahulu, sedang pihak lain perpegang pada penafsiran lama yang tidak cukup untuk menghadapi perubahan sosial yang ada. Sehingga masalah harta bersama ini perlu dibahas dalam KHI dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 agar umat Islam di Indonesia mempunyai pedoman fiqh yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi, sehingga terjadi keseragaman dalam memutuskan perkara. C. Harta bersama menurut undang-undang Di Indonesia, harta bersama dalam perkawinaatur dalam UU. No. I Tahun 1974, Bab VII pada pasal 35;1, 36;1 dan 37. pasai 35 (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama Pasal 36 (1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa menurut Undang-Undang Perkawinan, di dalam satu keluarga mungkin terdapat lebih dari satu kelompok harta. Hal ini berlainan sekali dengan sistem yang dianut B.W yaitu bahwa dalam satu keluarga pada asasnya hanya ada satu kelompok harta saja yaitu harta persatuan suami isteri. Menurtu pasal 35 UU No. 1 tahun 1974, harta bersama suami isteri, hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami isteri sepanjang perkawinan saja. Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan, sampai perkawinan tersebut putus, baik terputus karena kematian salah seorang diantara mereka (cerai mati), maupun karena perceraian (cerai hidup). Dengan demikian, harta yang telah dipunyai pada saat di bawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama. Ketentuan tersebut di atas tidak menyebutkan dari mana atau dari siapa harta tersebut berasal, sehingga boleh kita simpulkan, bahwa termasuk harta bersama adalah : 1) Hasil dan pendapatan suami. 2) Hasil dan pendapatan isteri. 3) Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun isteri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya diperoleh sepanjang perkawinan. Harta bersama menurut KUHPerdata disebut persatuan harta kekayaan. Persatuan harta kekayaan dalam pasal 119 KUHPerdata. pada pokoknya dikemukakan bahwa terhitung sejak saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum terjadilah persatuan bulat harta kekayaan suami dan isteri sejauh tidak diadakan perjanjian perkawinan tentang hal tersebut, jadi dari sini dapat diartikan bahwa yang dimaksud Harta Bersama adalah "Persatuan harta kekayaan seluruhnya secara bulat baik itu meliputi harta yang dibawa secara nyata (aktiva) maupun berupa piutang (pasiva), serta harta kekayaan yang akan diperoleh selama perkawinan" akibat terhadap persatuan harta kekayaan setelah adanya cerai adalah Bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen, tetapi tunduk kepada BW yang mengenal harta bersama (persatuan harta sejak terjadi perkawinan), harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri (pasal 128 KUHPerdata). Sedang dalam Kompilasi Hukum Islam, khususnya mengenai hukum perkawinan banyak terjadi duplikasi dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai harta kekayaan dalam perkawinan dibahas dalam Bab XIII. Menurut pasal 85 adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Tetapi dalam pasal 86 ditegaskan pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. Dalam Bab XIII tidak disebut mengenai terjadinya harta bersama, sebagaimana yang diatur dalam pasal 35 UU No. 1 tahun 1974. Mengenai harta bersama lebih lanjut diatur dalam pasal 85 sampai dengan pasal 97. D. Penghitungan harta bersama Pengadilan Agama dalam menetapkan putusan maupun fatwa tentang harta bersama mengutip langsung ketentuan hukum yang ada dalam Al-Qur’an karena tidak dikenal dalam referensi syafi’iyah. Lebih jauh lagi dalam menetapkan porsi harta bersama untuk suami isteri digunakan kebiasaan yang berlaku setempat, sehingga terdapat penetapan yang membagi dua harta bersama di samping terdapat pula penetapan yang membagi dengan perbandingan dua banding satu. Selain itu di Amuntai harta bersama dibagi sesuai dengan fungsi harta itu untuk suami atau untuk isteri. Menurut Kompilasi Hukum Islam Indonesia bahwa ketika terjadi perceraian karena meninggalnya suami atau istri maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. (KHI pasal 96), bila dirumuskan: HBS = 1/2 HB HBI = 1/2 HB Pendapat lain menurut H.R. Otje Salman dan mustofa Haffas dalam bukunya “Hukum Waris Islam” bahwa Hubungan harta bersama bagian suami dan bagian istri dengan harta bersama adalah bagi suami dua bagian hak istri. seperti ditunjukkan dalam rumus-rumus dibawah ini: HBS = 2/3 HB HBI = 1/3 HB Ket: HB : Harta bersama HBS : Harta bersama Suami HBI : Harta bersama Istri HAS : Harta asal Suami HAI : Harta asal Istri HPS : Harta peninggalan Suami HPI : Harta peninggalan Istri US : Utang Suami UI : Utang Istri UB : Utang Bersama Karena Allah memperingatkan bagi suami/ istri untuk tidak iri terhadap istri/ suaminya. Seorang istri tidak boleh terhadap suaminya karena mendapat hak hak lebih besar atas harta bersama. Laki-laki dilebihkan dari wanita karena laki-laki dibebani tanggung jawab sebagai pemimpin dan pemberi nafkah dengan resik harta asalnyapun dapat berkurang. Begitu pula, suami tidak boleh terhadap istrikarena sama sekali tidak memiliki hak atas penghasilan harta asal istrinya. Wanita dilebhkan darilaki-laki dengan perlindungan harta asal dan penghasilan darinya sebagai meilik pribadi. Contoh: Sepasang suami Istri membawa harta asal masing-masing sebesar Rp. 5.000.000,- ke dalam perkawinannya dan memiliki harta bersama sebesar Rp. 5.000.000,- pula. Jika si suami meninggalkan utang pribadi sebesar Rp. 2.500.000,- dan utang bersama sebasar Rp. 2.000.000,- maka harta peninggalannya adalah sebagai berikut: Sebagaimana pemaparan kami di atas ada 2 pendapat yang pertama KHI yakni keduanya mendapat separuh dari harta. pendapat yang ke dua suami atas harta bersama adalah dua bagian hak istri. 1. Yang berpendapat suami atas harta bersama adalah dua bagian hak istri. Karena UB lebih kecil dari HB maka HBS = 2/3 (HB-UB) = 2/3 (5.000.000-2.000.000) = 2.000.000 HPS = HAS-US + HBS = 5.000.000-2.500.000+2.000.000 = 4.500.000 Sementara jika si istri yang meninggal dunia dengan kondisi yang sama, makka harta peninggalannya: Karena UB lebih kecil dari HB maka: HBI = 1/3 (HB-UB) = 1/3 (5.000.000-2.000.000) = 1.000.000 HPI = HAI-UI + HBI = 5.000.000-2.500.000+2.000.000 = 4.500.000 2. Menurut KHI Karena UB lebih kecil dari HB maka HBS = 1/2 (HB-UB) = 1/2 (5.000.000-2.000.000) = 1.500.000 HPS = HAS-US + HBS = 5.000.000-2.500.000+1.500.000 = 4.000.000 Sementara jika si istri yang meninggal dunia dengan kondisi yang sama, makka harta peninggalannya: Karena UB lebih kecil dari HB maka: HBI = 1/2 (HB-UB) = 1/2 (5.000.000-2.000.000) = 1.500.000 HPI = HAI-UI + HBI = 5.000.000-2.500.000+1.500.000 = 4.000.000

0 komentar: